Hi Urbie’s! Tren pemasaran menggunakan Key Opinion Leader (KOL) kini mulai kehilangan efektivitasnya di banyak lini bisnis. Meski dulu dianggap strategi jitu untuk meningkatkan awareness dan penjualan, kenyataannya banyak brand mulai merasakan bahwa hasilnya tidak se-wow yang diharapkan. Namun, kabar baiknya, ada strategi alternatif yang masih jarang digunakan dan mungkin belum diketahui oleh kompetitor Anda.
Berdasarkan riset Nielsen, 92% konsumen lebih mempercayai rekomendasi pribadi dibandingkan iklan tradisional. Data ini menunjukkan bahwa kepercayaan konsumen sangat dipengaruhi oleh opini seseorang yang mereka anggap kredibel dan terpercaya. Namun, pergeseran perilaku konsumen membuat penggunaan KOL perlu dipikirkan ulang, terutama jika hanya mengandalkan faktor popularitas di media sosial.
Yuk kita bahas lebih dalam kenapa KOL nggak lagi se-powerful dulu, sekaligus mengulik strategi rahasia yang bisa bikin marketing kamu tetap relevan.
Kenapa KOL Mulai Kehilangan Taji
Dulu, KOL sering dianggap sebagai “jalan pintas” untuk membangun kepercayaan konsumen. Mereka yang memiliki keahlian atau reputasi di bidang tertentu bisa membuat audiens merasa lebih yakin untuk membeli produk yang direkomendasikan. Tapi, masalahnya, kini audiens makin pintar membedakan mana review yang genuine dan mana yang berbau sponsor.
Selain itu, era oversaturated content membuat konsumen kebanjiran promosi dari berbagai akun. Saat semua brand berebut KOL yang sama, dampaknya jadi menurun. Kredibilitas pun bisa terganggu ketika seorang KOL terlalu sering mempromosikan berbagai brand yang berbeda dalam waktu singkat.
KOL Bukan Sekadar Influencer
Sebelum membahas strategi pengganti, penting untuk memahami perbedaan KOL dan influencer. Menurut Stack Influence, KOL adalah individu yang punya keahlian mendalam di bidang tertentu dan kredibilitas yang dibangun melalui pencapaian profesional, bukan sekadar jumlah followers.
Contohnya, seorang chef terkenal yang sudah memenangkan kompetisi kuliner internasional lebih punya pengaruh saat merekomendasikan alat masak tertentu, dibanding influencer yang hanya sering posting resep di Instagram.
Masalahnya, di era sekarang, banyak brand mencampuradukkan KOL dengan influencer sehingga pesan yang disampaikan kehilangan bobot.
Baca Juga:
- Belum Tayang Season 2, Netflix Resmi Umumkan ‘One Piece’ Lanjut ke Season 3
- TasteAtlas Nobatkan Bubur Ayam Indonesia sebagai Porridge Terbaik di Dunia 2025
- Friendzone atau Bestie? Bisakah Cowok dan Cewek Temenan Tanpa Baper
Strategi Rahasia: Micro-Community Advocacy
Kalau KOL mulai kehilangan impact, apa dong solusinya? Jawabannya ada di micro-community advocacy.
Ini adalah strategi pemasaran yang fokus pada membangun hubungan dengan komunitas kecil yang punya minat atau hobi spesifik, dan melibatkan anggota komunitas itu sendiri untuk jadi “brand advocate” atau pendukung merek.
Bedanya dengan KOL? Brand advocate dari komunitas ini biasanya adalah pengguna asli produk, bukan orang yang dibayar mahal untuk promosi. Kepercayaan yang dibangun bersifat organik dan berkelanjutan.
Kenapa Micro-Community Advocacy Efektif
- Kepercayaan Otentik
Rekomendasi datang dari orang yang benar-benar menggunakan produk, bukan karena kontrak endorsement. - Audiens Tepat Sasaran
Komunitas biasanya punya minat yang sama, sehingga pesan marketing langsung sampai ke target market yang relevan. - Biaya Lebih Efisien
Dibanding mengeluarkan budget besar untuk satu posting KOL, brand bisa mengalokasikan dana untuk membangun engagement berkelanjutan dengan komunitas. - Efek Word of Mouth Lebih Kuat
Anggota komunitas sering saling berbagi pengalaman, sehingga rekomendasi menyebar secara alami.
Cara Menerapkan Strategi Ini
- Identifikasi Komunitas: Temukan komunitas kecil yang relevan dengan produk atau layanan kamu, baik online maupun offline.
- Bangun Hubungan, Bukan Sekadar Transaksi: Ikut berpartisipasi dalam aktivitas mereka, tawarkan dukungan, dan ciptakan value untuk anggota.
- Libatkan Member Sebagai Storyteller: Minta mereka berbagi pengalaman pribadi menggunakan produkmu.
- Fasilitasi Konten Kolaboratif: Buat event, challenge, atau proyek bersama yang bisa menghasilkan konten autentik.
Studi Kasus Singkat
Sebuah brand kopi lokal di Jakarta menerapkan micro-community advocacy dengan mendukung komunitas fotografer street di kotanya. Alih-alih membayar KOL untuk posting foto ngopi, brand ini menyediakan tempat nongkrong gratis setiap minggu untuk komunitas tersebut, lengkap dengan kopi gratis. Hasilnya? Puluhan fotografer membagikan pengalaman mereka di media sosial tanpa diminta, dan brand tersebut mendapatkan exposure yang jauh lebih luas dengan biaya minim.
Arah Baru Marketing
Urbie’s, marketing sekarang bukan lagi soal siapa yang paling ramai di feed, tapi siapa yang paling relevan di hati audiens. KOL memang masih punya tempat, tapi mengandalkannya sebagai strategi utama sudah tidak cukup. Micro-community advocacy menawarkan pendekatan yang lebih personal, efektif, dan berkelanjutan untuk membangun brand yang dipercaya.
Jadi, kalau bisnis kamu mulai merasa strategi KOL stagnan, mungkin saatnya beralih ke strategi yang lebih intim dan autentik. Dan ingat, dalam marketing modern, yang menang adalah mereka yang mampu membangun hubungan, bukan sekadar menjual.





















































