Sejujurnya, serial Netflix yang mengadaptasi karya Giovanni Boccaccio, “The Decameron”, bukanlah sesuatu yang saya harapkan ada di daftar tontonan 2024. Tapi setelah menontonnya, mungkin memang seharusnya saya memasukkannya. Adaptasi bebas arahan showrunner Kathleen Jordan ini terasa sangat sesuai dengan zaman kita, meskipun latar ceritanya berada di abad ke-14.
Campuran Tren Populer:
Serial ini menggabungkan empat elemen utama yang sedang digemari penonton:
- Komedi drama sejarah a la “Dickinson”, “My Lady Jane”, dan “Bridgerton”.
- Kritik sosial terhadap kaum kaya yang boros seperti “White Lotus”, “The Menu”, dan “Triangle of Sadness”.
- Ke Schadenfreude alias kesenangan melihat orang kaya menderita saat terjebak bersama (seperti semua reality show, terutama “Big Brother”, “Love Island”, dan “Bachelor in Paradise”).
- Durasi episode yang semakin panjang (seperti kebanyakan serial Netflix).
Mencoba Menyinggung Pandemi:
Tak luput dari perhatian, serial ini juga membahas pandemi. Namun, yang diangkat adalah wabah Maut Hitam yang terjadi di abad pertengahan, bukan pandemi Covid-19 yang sedang kita hadapi. Memang, ini adalah tema yang jarang disentuh oleh media lain.
Adaptasi Bebas yang Berlebihan:
Serial ini mengambil konsep dasar dari “The Decameron” karya Boccaccio, yaitu sekelompok bangsawan yang terjebak di villa terpencil untuk menghindari wabah Maut Hitam dan mengisi waktu dengan bercerita. Namun, alih-alih fokus pada cerita-cerita itu sendiri, Jordan justru terlalu fokus pada drama dan kekonyolan para bangsawan.
Meski serial ini berusaha menyampaikan kritik sosial dan menangkap esensi pandemi, “The Decameron” justru terjebak dalam kemewahan dan kehebohan yang berlebihan. Episode demi episode dipenuhi aksi komedi slapstick yang vulgar dan penuh nafsu, sehingga nonton serial ini jadi terasa melelahkan.
Banyak Karakter, Sedikit Penghasilan:
“The Decameron” penuh dengan karakter yang berebut sorotan. Ada Zosia Mamet sebagai Pampinea, wanita tertua di villa yang suka mengatur, dan Derrey Girls’ Saoirse-Monica Jackson sebagai pembantunya yang setia. Ada Tony Hale yang berperan sebagai pengurus villa yang kocak dan Leila Farzad sebagai juru masak yang sabar. Lalu ada dokter playboy Dioneo (Amar Chadha-Patel) dan pasiennya yang misogynis dan kurang bergaul, Tindaro (Douggie McMeekin).
Sorotan paling menarik justru datang dari Tanya Reynolds (Sex Education) yang memerankan Licisca, pelayan setia yang akhirnya memberontak dan mengambil alih posisi bangsawan.
Plot Sederhana, Eksekusi Melelahkan:
Plot serial ini sederhana: sekelompok bangsawan terjebak bersama di villa mewah dan saling berulah. Sayangnya, “The Decameron” terlalu terjebak dalam klise komedi dan drama yang mudah ditebak. Meskipun beberapa karakter mengalami perkembangan, secara keseluruhan serial ini terasa melelahkan karena humor yang berlebihan dan repetitif.
Baca juga artikel kami yang lain:
- POMME: Mempersembahkan Ulang Magis “Itsumo Nando Demo” dari Studio Ghibli
- GACKT Meratapi Bangkrutnya Merek Gitar Legendaris: Apakah Era Musik Rock Telah Berakhir?
- Heboh! Spiderman Tobey Maguire Digosipkan Pacari Model Muda?
Mencoba Menggambarkan Pandemi yang Unik:
Anehnya, hal paling menarik dari “The Decameron” adalah usahanya untuk menggambarkan pandemi, meski bukan pandemi Covid-19. Kita memang tergelitik melihat para karakter yang berusaha menghindari wabah Maut Hitam dengan cara-cara aneh, tapi situasinya terasa kurang relevan dengan pengalaman kita saat ini.
“The Decameron” karya Boccaccio sendiri bercerita tentang orang-orang yang saling bercerita untuk mengalihkan diri dari kengerian wabah. Di sisi lain, serial Netflix ini justru terlalu sibuk dengan drama para bangsawan dan kurang fokus pada esensi isolasi dan ketakutan yang dialami di masa pandemi.
Adaptasi yang Kehilangan Arah:
Dengan durasi episode yang panjang, yaitu sekitar satu jam per episode, “The Decameron” terasa terlalu bertele-tele. Serial ini ingin menjadi banyak hal sekaligus: drama sejarah, komedi slapstick erotis, kritik sosial, dan tayangan “pandemic media”. Akibatnya, serial ini gagal menjadi yang terbaik di salah satu genre tersebut.
“The Decameron” memang menghibur, tapi lebih terasa seperti kesenangan sesaat daripada tayangan yang memuaskan. Menonton serial ini sampai selesai justru membuat kita berharap para karakter, layaknya penonton, bisa sedikit menahan diri.