Hi Urbie’s, bekerja di agency sering kali terlihat glamor. Feed media sosial dipenuhi proyek keren, kolaborasi dengan brand besar, hingga suasana kantor yang kasual dan penuh warna. Bagi generasi Z, bekerja di agency adalah wujud nyata mengejar passion sekaligus membangun karier yang menjanjikan. Namun di balik layar, ada cerita yang mungkin tidak selalu seindah tampilannya.
Passion, Bensin yang Membakar Semangat
Alya (23), seorang copywriter di sebuah digital agency di Jakarta, bercerita bagaimana ia jatuh cinta dengan dunia kreatif sejak di bangku kuliah. “Rasanya seru banget bisa menuangkan ide-ide liar dan melihatnya diwujudkan jadi kampanye yang impactful”, katanya.
Baca juga
- Nikmati Iftar Spesial di Zest Sukajadi Bandung, Sajian Lezat dan Promo Menarik!
- Sambut Ramadan dengan Kemewahan dan Cita Rasa Nusantara di Lorin Hotels
- Tjakap Djiwa, Transformasi Staycation di Aryaduta Menteng untuk Jiwa dan Raga
Namun, bekerja dengan passion ternyata tidak selalu berarti menyenangkan. Alya mengaku sering harus lembur hingga larut malam demi deadline yang ketat. “Kadang-kadang, passion bisa jadi pedang bermata dua. Kita suka sama kerjaannya, tapi jadi sulit bedain antara kerja dan istirahat”, ungkapnya.
Jalan Terjal Menuju Profesionalisme
Di sisi lain, ada juga mereka yang bekerja di agency bukan semata karena passion, melainkan demi membangun portofolio dan memperluas jaringan. Farhan (25), seorang account executive, mengungkapkan bahwa ia memilih bekerja di agency karena dinamika pekerjaannya yang menantang dan membuka banyak peluang.
“Kalau di agency, exposure kita luas banget. Bisa ketemu banyak klien dari berbagai industri. Itu nilai tambah banget buat karier aku di masa depan,” tutur Farhan. Meski demikian, ia mengakui bahwa beban kerja yang tinggi dan ekspektasi yang besar sering kali membuatnya merasa tertekan.
Antara Fleksibilitas dan Batasan yang Tipis
Salah satu daya tarik bekerja di agency bagi Gen Z adalah fleksibilitas waktu dan budaya kerja yang lebih santai. Tapi kenyataannya, fleksibilitas ini kadang justru menjadi jebakan. Tidak ada batas jelas antara jam kerja dan waktu pribadi. Seperti yang dirasakan Alya, terkadang ide kreatifnya justru muncul di tengah malam, dan itu membuatnya sulit untuk benar-benar beristirahat.
Di sisi lain, Farhan menyebutkan bahwa fleksibilitas dalam bekerja juga berarti harus selalu siap siaga, bahkan di luar jam kerja. “Klien bisa nge-chat kapan saja, dan kita harus fast response. Mau nggak mau, HP terus online”, tambahnya.
Menemukan Keseimbangan dalam Keseharian
Meskipun penuh tantangan, baik Alya maupun Farhan sepakat bahwa bekerja di agency memberi mereka banyak pembelajaran. Kuncinya adalah menemukan keseimbangan antara passion dan kebutuhan profesional. “Kita harus belajar bilang ‘cukup’ dan tahu kapan harus istirahat”, ujar Alya.
Di tengah dinamika ini, generasi Z di agency terus mencari cara untuk menikmati pekerjaan tanpa kehilangan jati diri. Mengingat pentingnya menjaga kesehatan mental, banyak di antara mereka yang mulai berani menetapkan batasan dan memprioritaskan self-care.
Bekerja di agency, baik karena passion maupun tuntutan karier, memang menawarkan pengalaman yang berharga. Namun, penting bagi generasi Z untuk tetap menjaga keseimbangan hidup dan tidak terjebak dalam rutinitas yang melelahkan. Pada akhirnya, pekerjaan seharusnya menjadi bagian dari hidup, bukan seluruh hidup itu sendiri.