Home Highlight Puparia, Saat Sebuah Karya 3 Menit Menampar Dunia Anime yang Terlalu Cepat

Puparia, Saat Sebuah Karya 3 Menit Menampar Dunia Anime yang Terlalu Cepat

470
0
Puparia anime Shingo Tamagawa - sumber foto Linkedin
Puparia anime Shingo Tamagawa - sumber foto Linkedin
Mercure

Hi Urbie’s! Pernahkah kamu merasa lelah dengan dunia yang terus berlari? Ketika segalanya dituntut cepat, serba instan, dan selalu berlomba dengan waktu—bahkan karya seni pun tak luput dari tuntutan ini. Tapi di tengah hiruk-pikuk industri anime yang makin industrial, hadir sebuah karya sunyi nan jujur: Puparia, karya tunggal dari seniman Shingo Tamagawa.

Nama ini mungkin tak sepopuler sutradara anime besar lainnya, tapi karyanya? Ia bicara lebih keras dari ratusan episode yang mungkin sudah kamu tonton. Dan yang paling mengejutkan? Puparia hanya berdurasi 3 menit.

Puparia Tiga Tahun untuk Tiga Menit

Shingo Tamagawa, animator yang sebelumnya terlibat dalam proyek-proyek anime besar, memutuskan berhenti sejenak dari hingar-bingar industri. Ia memilih jalan sepi, jalan yang memungkinkan dirinya mendengar kembali suara hati dan idealismenya yang sempat teredam. Selama tiga tahun, ia bekerja sendiri. Tanpa studio besar, tanpa tim, tanpa tenggat dari produser.

Hasil dari perenungannya adalah Puparia. Bukan anime aksi. Bukan kisah cinta remaja. Bukan pula fantasi penuh ledakan dan jurus pamungkas. Puparia adalah meditasi visual, refleksi batin, dan kritik diam-diam terhadap industri yang lupa bahwa anime adalah bentuk seni.

Tak Ada Kata, Tapi Bermakna

Yang menarik, Puparia tak punya dialog sama sekali. Tak ada narasi. Tak ada penjelasan. Hanya visual yang bergerak perlahan, seperti bunga yang mekar di tengah gurun pasir. Tapi justru karena kesunyian itulah, Puparia begitu lantang.

Setiap frame seperti lukisan yang hidup. Gerakannya halus, warnanya sendu, komposisinya mengingatkan kita pada karya-karya surealis dan simbolis. Ada rasa magis yang tak bisa dijelaskan, tapi bisa dirasakan. Sebuah bentuk komunikasi non-verbal antara pencipta dan penonton.

Di dunia yang serba cepat, Puparia seperti jeda. Seperti napas panjang di tengah kelelahan kolektif. Ia tidak menawarkan hiburan instan, tapi pengalaman emosional. Ia tak memaksa kita untuk mengerti, tapi mengajak kita untuk merasakan.

Karya yang Melawan Arus

Urbie’s, di saat studio-studio besar berlomba merilis anime panjang dalam tenggat super ketat, Tamagawa mengambil jalur sebaliknya. Ia bekerja dalam keheningan, dalam waktu yang ia tentukan sendiri. Ia tidak membuat anime karena harus tayang musim depan, atau karena sponsor meminta.

Ia membuatnya karena ia ingin.

Dan mungkin, itulah kenapa Puparia terasa begitu jujur. Karena ia lahir dari jiwa, bukan dari tekanan. Karena ia ditenun dari kegelisahan, bukan dari target rating.

Resonansi dalam Sunyi

Kamu mungkin akan bertanya-tanya saat menonton Puparia. “Apa maksudnya?” “Apa artinya?” Tapi di balik kebingungan itu, ada emosi yang mengalir. Ada rasa yang menempel. Dan ketika kamu selesai menontonnya—hanya tiga menit, tapi terasa lebih lama—kamu akan sadar: karya ini tidak minta dipahami, ia hanya ingin didengar.

Dan inilah kekuatan Puparia: ia membuka ruang. Ruang untuk merenung, untuk berhenti sejenak dari dunia yang terlalu cepat. Ruang untuk kembali mencintai seni, bukan sebagai produk, tapi sebagai pernyataan jiwa.

Baca juga:

Puparia Sebuah Pukulan Lembut untuk Industri

Puparia mungkin tak akan pernah ditayangkan di prime time. Ia terlalu sunyi untuk itu. Tapi justru karena itu, ia penting. Karena ia mengingatkan kita—para penikmat anime, para pekerja kreatif, para Urbie’s yang haus makna—bahwa di balik segala kemasan dan hiburan, seni tetap harus punya hati.

Jadi, jika kamu lelah dengan anime yang “itu-itu saja”, jika kamu mencari sesuatu yang lebih dalam, lebih sunyi, lebih jujur—tonton Puparia. Bukan untuk terhibur. Tapi untuk merasa hidup.

Novotel Gajah Mada

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here