Home Lifestyle Nggak Semua Harus Jadi Teman: Pentingnya Pilah-Pilih Circle

Nggak Semua Harus Jadi Teman: Pentingnya Pilah-Pilih Circle

87
0
Ilustrasi Nggak Semua Harus Jadi Teman: Pentingnya Pilah-Pilih Circle. Foto: Freepik
Ilustrasi Nggak Semua Harus Jadi Teman: Pentingnya Pilah-Pilih Circle. Foto: Freepik
Urbanvibes

Hi Urbie’s! Di era ketika semua orang berlomba untuk terlihat punya banyak teman di media sosial, ada satu realita yang mulai disadari banyak anak muda, yaitu nggak semua orang layak masuk ke dalam circle kamu. Kedengarannya keras, tapi inilah bentuk kesadaran baru tentang kesehatan mental dan kualitas hidup yang sedang tumbuh di kalangan generasi muda.

Kita hidup di zaman serba koneksi, di mana circle pertemanan bisa tercipta dari satu DM Instagram atau satu sesi nongkrong. Tapi di balik kehangatan itu, sering kali terselip dinamika yang melelahkan seperti drama, pembandingan, bahkan energi negatif yang bikin kamu kehilangan jati diri. Fenomena ini menandai pergeseran paradigma sosial anak muda, dari “yang penting ramai” ke “yang penting sehat”.

Circle Bukan Sekadar Teman Nongkrong

Banyak dari kita dulu tumbuh dengan pandangan bahwa semakin besar circle, semakin seru hidupmu. Tapi kini, tren itu mulai bergeser. Anak muda mulai sadar bahwa circle bukan hanya soal nongkrong bareng, tapi soal ruang tumbuh yang aman.

Circle yang baik bukan cuma yang selalu ada di pesta ulang tahunmu, tapi yang berani bilang, “Lo salah”, saat kamu keluar jalur. Di sisi lain, circle yang salah justru bisa menjerumuskan ke arah sebaliknya, mendorongmu menjadi versi yang bukan diri sendiri hanya demi diterima.

Sosiolog menyebut fenomena ini sebagai bentuk “seleksi sosial modern”, di mana anak muda lebih berhati-hati membangun relasi demi menjaga mental stability mereka. Mereka tak lagi takut disebut “pemilih” asalkan bisa menjaga energi dan fokus hidup.

Toxic Positivity di Balik Lingkaran yang ‘Ramah’

Ironisnya, banyak circle yang tampak positif justru menyimpan racun tersembunyi. Mereka tampak mendukung, tapi sebenarnya penuh kompetisi dan validasi palsu. Fenomena toxic positivity ini sering membuat seseorang menekan emosi negatif demi terlihat selalu bahagia di depan circle-nya.

Hasilnya? Burnout sosial. Kamu lelah menjadi orang yang selalu “oke” di hadapan teman-temanmu, padahal di dalam hati, kamu ingin jujur bahwa kamu nggak baik-baik saja.

Baca Juga:

Pilah-pilih circle artinya mengizinkan diri untuk memilih kejujuran daripada kepura-puraan. Ini bukan tentang menutup diri, tapi tentang menghargai ruang emosional sendiri.

Relasi Sehat Dimulai dari Lingkaran yang Sehat

Buat generasi muda, circle bukan cuma tempat berbagi cerita, tapi juga refleksi nilai-nilai pribadi. Circle yang sehat akan mendorongmu untuk berkembang tanpa rasa takut dihakimi. Mereka mendukung mimpimu, tapi juga menegur ketika kamu salah langkah.

Di sisi lain, circle yang toksik bisa membuat kamu stuck di fase pembandingan tanpa henti, selalu merasa kurang, selalu ingin validasi. Dan ini bisa menjalar ke semua aspek hidup mulai dari karier, hubungan, hingga cara kamu melihat diri sendiri.

Pilih Circle, Pilih Ketenangan

Kuncinya sederhana, pilih mereka yang membuat kamu tenang, bukan cuma senang. Circle yang tepat nggak perlu besar, cukup berisi orang-orang yang benar-benar hadir, jujur, dan mendukung prosesmu tanpa syarat.

Jadi, sebelum kamu sibuk memperluas pertemanan, coba tanyakan dulu:
Apakah mereka benar-benar membuatmu tumbuh, atau justru mengikis dirimu perlahan?

Karena pada akhirnya, hidup bukan tentang berapa banyak orang yang mengenalmu, tapi tentang berapa banyak yang benar-benar mengenalmu.

Novotel Gajah Mada

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here