Hi Urbie’s!
Indonesia tengah berada di titik krusial dalam memanfaatkan bonus demografi terbesar sepanjang sejarah. Dengan lebih dari 70 persen penduduk berusia produktif—dan 144 juta di antaranya merupakan Milenial serta Gen Z—kita sebenarnya memiliki modal besar untuk lompatan ekonomi. Namun, tantangannya juga tidak kecil. Tingkat pengangguran muda masih berada di angka sekitar 14 persen, jauh lebih tinggi dibanding Thailand dan Vietnam yang hanya 6–7 persen. Kesenjangan pendapatan, deindustrialisasi dini, hingga tingginya pekerjaan informal semakin mempertegas bahwa arah pembangunan ekonomi harus diperbarui.
Situasi ini menjadi sorotan utama dalam Youth Economics Summit (YES) 2025 yang berlangsung di Jakarta akhir pekan lalu. Dalam forum tersebut, Strategic Research Manager CORE Indonesia, Yusuf R. Manilet, memaparkan proyeksi ekonomi 2026 dan menegaskan bahwa masa depan pekerjaan bagi generasi muda ada pada tiga sektor: ekonomi hijau, ekonomi digital, dan hilirisasi.
Menurut Yusuf, sektor hijau memiliki potensi besar untuk menyumbang Rp500–600 triliun pada tahun 2030 sekaligus membuka 1,7 juta green jobs. Ekonomi digital juga ikut mendukung, terutama dengan penetrasi internet Indonesia yang sudah mencapai 80 persen. Lahirnya profesi baru seperti host live-streaming, layanan daring, hingga posisi di perusahaan rintisan menjadi bukti bahwa ruang kerja terus berevolusi.
“Ekonomi digital bisa menjadi instrumen penting untuk menekan angka pengangguran,” tegas Yusuf.
Tak hanya itu, sektor hilirisasi juga menjadi pilar masa depan. Dengan 28 komoditas prioritas dan cadangan sumber daya yang besar, potensi pendapatan industri hilirisasi bahkan diproyeksikan mencapai USD 917 miliar pada tahun 2045. Angka tersebut menegaskan bahwa hilirisasi tidak hanya soal industri besar, tetapi juga soal pemerataan kesempatan bagi generasi muda di seluruh daerah.
Dalam pembukaan acara, Direktur CORE Indonesia Mohammad Faisal mengingatkan betapa pentingnya melibatkan generasi muda dalam setiap pembuatan kebijakan ekonomi. Data terbaru BPS menunjukkan Gen Z (27 persen atau 74 juta jiwa) dan Milenial (25 persen) jika digabungkan sudah mencakup hampir 60 persen populasi Indonesia.
“Setiap kebijakan ekonomi paling banyak berdampak ke anak muda. Karena itu, mereka harus dilibatkan sejak awal agar isu ekonomi tidak menjadi isu elitis,” ujarnya.
Baca Juga:
- Setelah 44 Tahun, Unyil dan Pak Ogah Comeback dalam Versi Modern
- Kebiasaan Makan Ultra-Processed Food Picu Risiko Tumor Usus di Usia Muda
- Brokies Tiramisu Chef Juna, Tren Dessert Baru dengan Choco Chips
Dalam diskusi lanjutan, beberapa tantangan turut mengemuka. Dipo Satria Ramli menyoroti ancaman crowding out akibat dominasi belanja pemerintah yang berpotensi menghambat pertumbuhan industrialisasi. Ia mencontohkan proyek besar seperti pendanaan Rp30 triliun Danantara untuk program MBG dan proyek lainnya yang berpotensi menyingkirkan usaha peternakan swasta. Menurut Dipo, pemerintah perlu fokus pada hal-hal yang tidak bisa dilakukan swasta, seperti menciptakan iklim investasi yang kompetitif dan sehat.
Sementara itu, Azhar Syahida menekankan pentingnya pertumbuhan inklusif yang tidak hanya bertumpu pada industri besar, sedangkan Jeany Hartriani menyoroti bahwa transisi energi dan ekonomi sirkular akan menjadi lanskap utama pasar kerja masa depan. Artinya, anak muda harus siap beradaptasi dengan keterampilan hijau dan teknologi baru.
Dalam keynote speech, Asisten Khusus Presiden RI Dirgayuza Setiawan menegaskan bahwa pemerintah kini fokus pada peningkatan kualitas SDM dan pengurangan kemiskinan. Program Makan Bergizi Gratis (MBG) disebut telah berkontribusi pada peningkatan kualitas pendidikan melalui perbaikan gizi generasi muda.
“Kita harus menghadirkan kesetaraan, bukan sekadar kesamaan,” ujarnya.
Program Sekolah Rakyat, penggunaan Data Terpadu Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN), dan penyaluran lebih dari 1,377 juta bantuan pada 2026 menjadi langkah konkret untuk memastikan kesejahteraan masyarakat lebih merata. Pemerintah juga berkomitmen pada penciptaan lapangan kerja baru sebagai fondasi pertumbuhan ekonomi nasional.
Youth Economics Summit (YES) 2025, yang diinisiasi oleh Suara.com dan CORE Indonesia, menjadi ruang dialog penting bagi generasi muda. Dengan tema “The New Economy Generation: Sustain, Scale, Succeed,” forum ini menghadirkan berbagai perspektif lintas sektor dan meluncurkan dokumen “Suara-suara Generasi Muda untuk Bangsa.” Acara ini juga memberikan apresiasi kepada peserta Youth Voice Challenge yang mengangkat isu keberlanjutan melalui karya kreatif.
Pemimpin Redaksi Suara.com, Suwarjono, menegaskan bahwa Gen Z dan Milenial adalah agen perubahan yang alami.
“Sejak awal mereka lahir di era digital. Karena itu isu ekonomi harus dibahasakan dengan cara yang dekat dengan anak muda,” jelasnya.
YES 2025 menjadi bukti bahwa suara generasi muda bukan hanya penting, tetapi strategis. Arah baru ekonomi Indonesia akan sangat bergantung pada bagaimana kita memberi ruang bagi mereka untuk bersuara, berperan, dan ikut menentukan masa depan bangsa.






















































