Hi Urbie’s!
Bayangin deh, sebuah negara kecil di tengah Samudra Pasifik yang perlahan menghilang dari peta karena krisis iklim. Inilah kenyataan menyedihkan yang dihadapi Tuvalu, negara berpenduduk sekitar 11.000 jiwa yang kini berada di garis depan perubahan iklim global. Tapi di balik ancaman itu, muncul secercah harapan—Australia baru aja meluncurkan “visa iklim” pertama di dunia yang secara resmi mengakui perubahan iklim sebagai alasan migrasi. Yes, ini bukan hanya sekadar visa biasa, tapi langkah nyata menuju migrasi yang lebih manusiawi dan bermartabat.
Visa ini adalah hasil dari perjanjian bernama Falepili Union antara Australia dan Tuvalu, yang ditandatangani pada tahun 2023. Dalam bahasa Tuvalu, “Falepili” berarti “tetangga”—dan semangat itulah yang diusung dalam kerja sama ini. Melalui skema ini, warga Tuvalu yang terdampak langsung oleh krisis iklim akan diberikan kesempatan untuk tinggal, bekerja, dan belajar di Australia. Mereka juga mendapatkan akses terhadap layanan kesehatan dan pendidikan. Namun, jumlahnya terbatas: hanya 280 visa yang diberikan setiap tahun, dan prosesnya dilakukan melalui undian.
Buat Urbie’s yang penasaran, gelombang pertama pendaftaran visa iklim ini akan dibuka akhir Juni 2025. Meski jumlahnya kecil, minat dari warga Tuvalu sangat besar. Dilaporkan sudah lebih dari 4.000 orang—hampir sepertiga dari total populasi Tuvalu—yang mendaftar untuk mendapatkan visa ini.
Baca Juga:
- Nintendo Diam-Diam Siapkan Film Donkey Kong, Ini Bocoran Awalnya!
- Pacu Jalur, Warisan Sungai Kuantan yang Siap Mendunia
- Jurassic World The Experience Hadir di Bangkok, Taman Hiburan Dinosaurus Seluas 6.000 m² Dibuka Agustus Ini!
Apa yang membuat program ini begitu spesial adalah cara pendekatannya terhadap migrasi. Alih-alih dianggap sebagai “pengungsi iklim” yang harus lari meninggalkan rumah, warga Tuvalu dipandang sebagai tetangga yang layak untuk mendapatkan kehidupan yang layak dan tetap bisa menjaga budayanya. Pemerintah Australia tidak hanya memberi jalan keluar, tetapi juga menjunjung tinggi martabat dan hak warga Tuvalu untuk tetap terhubung dengan akar budaya mereka.
Hal ini penting banget, karena Tuvalu bukan hanya kehilangan tanah, tapi juga komunitas, bahasa, dan cara hidup yang telah diwariskan turun-temurun. Itulah kenapa program ini juga menyertakan dukungan bagi pelestarian budaya Tuvalu, sambil tetap memberikan peluang ekonomi yang lebih luas. Perlu Urbie’s tahu, ekonomi Tuvalu adalah salah satu yang terkecil di dunia, dengan PDB hanya sekitar 63 juta dolar AS. Peluang kerja juga sangat terbatas di sana.
Dengan adanya visa ini, bukan cuma masa depan personal yang terbuka, tapi juga peluang bagi Tuvalu mendapatkan pendapatan dari remitansi atau kiriman uang dari luar negeri. Ini bisa jadi motor baru dalam roda ekonomi Tuvalu, seperti yang sudah terjadi di banyak negara Pasifik lainnya, di mana remitansi menyumbang hingga 40% dari PDB.
Melalui visa iklim ini, Australia dan Tuvalu sedang merintis model baru dalam kerja sama internasional—bukan hanya soal migrasi, tapi juga tentang koeksistensi lintas batas yang lebih adil, inklusif, dan penuh empati. Dan siapa tahu, langkah ini bisa jadi inspirasi untuk negara-negara lain yang juga sedang berada di bawah bayang-bayang ancaman iklim.
Tapi Urbie’s, penting juga untuk diingat: program ini lahir karena kondisi darurat. Di balik semua inovasi ini, tetap ada duka mendalam atas hilangnya rumah, tanah, dan sejarah Tuvalu. Maka, semoga dengan semakin banyaknya kerja sama dan solusi konkret seperti ini, dunia bisa lebih serius melindungi bumi kita bersama.