Hi Urbie’s! Bias kenormalan atau normalcy bias adalah kecenderungan manusia untuk meremehkan atau menolak kemungkinan terjadinya bencana, hanya karena kita terbiasa dengan kondisi sehari-hari yang aman. Akibatnya, saat ancaman nyata datang, banyak orang terlambat merespons. Fenomena ini bukan sekadar teori psikologi, tapi sesuatu yang sering kita temui dalam kehidupan sehari-hari.
Mungkin kamu pernah mendengar orang berkata, “Ah, gempa kecil ini nggak akan jadi apa-apa kok” atau “Banjir kayaknya nggak akan sampai rumah kita deh.” Itu adalah contoh nyata bias kenormalan. Pikiran kita lebih suka berpegang pada “kebiasaan normal” daripada menerima kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi.
Otak Kita Ingin Aman, Tapi Malah Membahayakan
Bias kenormalan terjadi karena otak manusia punya mekanisme pertahanan alami: ia menolak informasi yang terlalu menakutkan atau di luar kebiasaan. Dengan kata lain, kita cenderung mencari kenyamanan dalam pola lama, meskipun situasinya sudah berubah drastis.
Contohnya, saat ada peringatan tsunami, banyak orang justru memilih tetap di rumah karena merasa “tsunami nggak mungkin sampai sini”. Padahal, mengabaikan peringatan itu bisa sangat fatal. Sama halnya dengan orang yang menunda evakuasi ketika gunung meletus, hanya karena berpikir, “Erupsi kali ini pasti sama kayak dulu, kecil saja.”
Storytelling: Saat Banjir Besar Menjadi Nyata
Bayangkan ini, Urbie’s: kamu tinggal di sebuah komplek perumahan yang selama 10 tahun terakhir tidak pernah kebanjiran. Suatu malam, hujan deras mengguyur kota selama berjam-jam. Grup WhatsApp komplek mulai ramai, ada yang bilang air sudah mulai masuk di beberapa daerah sekitar.
Tapi karena pengalamanmu selama ini selalu aman, kamu berpikir, “Palingan nanti surut sendiri.” Kamu pun tetap menonton Netflix, merasa biasa saja. Ternyata, dua jam kemudian, air sudah masuk ke dalam rumah. Panik baru datang saat semua terasa terlambat. Inilah bias kenormalan yang bekerja: keengganan menerima bahwa sesuatu yang jarang terjadi, bisa saja benar-benar menimpa kita.
Mengapa Bias Kenormalan Berbahaya?
Bias kenormalan bisa bikin kita:
- Meremehkan risiko – kita anggap ancaman itu tidak serius.
- Menunda tindakan – padahal respons cepat sering jadi kunci keselamatan.
- Membuat keputusan salah – memilih tetap tinggal di tempat berbahaya, misalnya, hanya karena merasa “aman-aman saja dulu.”
Fenomena ini nggak cuma soal bencana alam. Dalam kehidupan sehari-hari pun, bias kenormalan bisa terlihat. Misalnya saat seseorang tetap mengabaikan tanda-tanda kesehatan tubuh yang memburuk karena merasa “selama ini baik-baik saja kok.” Atau saat perusahaan menolak beradaptasi dengan tren baru karena berpikir “cara lama selalu berhasil.”
Baca Juga:
- Romansa ke Masa Depan, Konser Hologram Glenn Fredly di Grand Sahid…
- BLACKPINK Ukir Rekor Baru di Inggris, Jadi Girl Group K-pop Pertama Konser di Wembley
- Ganti Pasangan, Tapi Luka Tetap Sama: Kenapa Kamu Terjebak di Pola yang Itu-Itu Lagi?
Cara Mengatasi Bias Kenormalan
Kabar baiknya adalah bias kenormalan bisa diatasi dengan kesadaran diri. Beberapa langkah yang bisa kamu coba:
- Belajar dari pengalaman: Dengarkan cerita orang lain yang pernah terdampak bencana atau kegagalan karena terlalu percaya pada “kebiasaan normal.”
- Percaya pada data dan peringatan resmi: Jangan hanya mengandalkan perasaan. Kalau BMKG bilang potensi tsunami tinggi, ikuti instruksinya.
- Latih skenario “bagaimana jika”: Biasakan diri berpikir ke depan. Misalnya, “Bagaimana jika listrik mati semalaman? Apa yang harus saya lakukan?”
- Berani keluar dari zona nyaman: Terima kenyataan bahwa hidup tidak selalu stabil, dan itu bukan hal yang buruk jika kita siap menghadapinya.
Refleksi untuk Generasi Muda
Di era serba cepat ini, bias kenormalan bisa jadi jebakan besar. Kita sering terlalu sibuk dengan rutinitas, sampai lupa bahwa perubahan bisa datang kapan saja. Entah itu bencana alam, perubahan iklim, resesi ekonomi, atau bahkan tren teknologi yang tiba-tiba mengguncang industri.
Menolak melihat kenyataan tidak membuat masalah hilang, justru memperbesar risikonya. Sebaliknya, dengan melatih diri untuk lebih waspada dan adaptif, kita bisa menghadapi perubahan dengan lebih tenang dan siap.
Bias kenormalan adalah cermin bahwa manusia sering kali lebih memilih kenyamanan daripada kebenaran. Tapi sebagai generasi yang hidup di dunia penuh ketidakpastian, kita perlu belajar untuk berani melihat kenyataan, meski kadang menakutkan. Karena dengan kesadaran itu, kita bisa melangkah lebih bijak, cepat, dan selamat.