Hi Urbie’s! Selama ini, kita sering banget dikotak-kotakkan ke dalam dua tipe kepribadian besar: introvert dan extrovert. Kalau kamu suka menyendiri, kamu pasti dicap introvert. Kalau doyan jadi pusat perhatian, langsung dianggap extrovert. Tapi, pernah nggak sih kamu merasa nggak benar-benar cocok di salah satu kubu itu? kalau kamu tidak termasuk keduanya, mungkin kamu masuk ke otrovert.
Tahun 2025 para psikiater resmi mengenalkan istilah baru: otrovert. Yup, ini bukan sekadar tren TikTok atau istilah random dari media sosial, tapi sebuah konsep psikologi yang kini diakui secara profesional.
Apa Itu Otrovert?
Otrovert adalah mereka yang merasa paling nyaman ketika berada di sekitar orang lain, tapi bukan berarti harus ramai ngobrol atau jadi pusat perhatian. Mereka cukup bahagia dengan kehadiran orang lain, entah itu duduk bareng sambil baca buku, kerja berdampingan di kafe, atau sekadar jalan bareng tanpa banyak bicara.
Berbeda dengan extrovert yang butuh stimulasi sosial konstan, atau introvert yang recharge dengan sendirian, otrovert justru hidup di ruang tengah. Mereka merasa tenang dengan shared experiences yang sederhana dan companionship yang adem.
Resmi Diakui di Tahun 2025
Kenapa baru sekarang kita mendengar istilah ini? Ternyata, para klinisi mulai menemukan pola unik di pasien-pasien mereka. Banyak orang merasa out of place karena nggak sepenuhnya introvert atau extrovert. Akhirnya, lahirlah istilah otrovert sebagai jawaban.
Bisa dibilang, ini kayak memberi nama untuk sesuatu yang sebenarnya sudah lama kita rasakan. Jadi, kalau kamu selama ini bingung mendeskripsikan diri kamu, mungkin kamu adalah seorang otrovert.
Ciri-Ciri Seorang Otrovert
Kalau masih bingung, coba deh cek beberapa ciri ini:
- Kamu senang ditemani orang lain, tapi nggak selalu butuh ngobrol intens.
- Kamu bisa recharge energi dengan berada di ruangan yang sama bersama orang terdekat, meski tanpa interaksi verbal.
- Kamu lebih suka kebersamaan yang bermakna ketimbang pesta besar atau sendirian total.
- Kamu nyaman berada di tengah keramaian, tapi nggak punya keinginan jadi pusat perhatian.
Relate banget nggak, Urbie’s?
Baca Juga:
- Menteri Pariwisata: Danau Toba Raih Kembali Status Green Card UNESCO Global Geopark
- Wisatawan Italia Meningkat Drastis, Indonesia Siap Pikat Lewat Kopi Nusantara
- Geser Changi, Bandara Istanbul Raih Gelar Bandara Terfavorit Dunia 2025
Kenapa Penting Ada Istilah Baru Ini?
Bahasa itu powerful. Dengan memberi nama pada suatu kondisi atau identitas, kita jadi lebih mudah memahami diri sendiri. Selama ini, banyak orang merasa terjebak antara “introvert” dan “extrovert” tanpa merasa pas di salah satunya.
Dengan hadirnya istilah otrovert, orang-orang ini akhirnya punya label yang lebih sesuai. Dan lebih penting lagi, kita jadi bisa bicara soal identitas sosial dengan cara yang lebih inklusif.
Pergeseran Cara Kita Melihat Diri
Para ahli psikologi percaya, munculnya istilah otrovert ini bukan sekadar soal klasifikasi kepribadian. Lebih dari itu, ini adalah tanda perubahan cara kita memahami belonging atau rasa memiliki. Dunia sosial kita makin kompleks, dan orang-orang butuh cara baru untuk mendefinisikan diri.
Kamu nggak lagi harus memilih: “aku introvert” atau “aku extrovert.” Ada jalan tengah yang ternyata valid dan kini diakui.
Otrovert dalam Kehidupan Sehari-Hari
Coba bayangkan, Urbie’s: kamu duduk di coworking space, bareng sahabat kamu. Dia sibuk mengetik, kamu sibuk baca. Nggak ada percakapan panjang, tapi kehadiran dia bikin kamu lebih produktif dan tenang. Itulah momen otrovert banget.
Atau ketika kamu ikut nongkrong rame-rame, tapi lebih memilih dengerin dan menikmati suasana ketimbang jadi bahan obrolan utama. Kamu tetap happy, tanpa merasa drained atau terasing.
Bukan Lagi Hitam Putih
Di era modern ini, kita nggak bisa lagi melihat kepribadian secara hitam putih. Kehadiran istilah otrovert menegaskan kalau manusia itu kompleks, dan nggak semua bisa dipetakan dalam dua kubu besar.
So, kalau kamu merasa bukan introvert sepenuhnya, juga nggak full extrovert, mungkin kamu adalah bagian dari gelombang baru: seorang otrovert. Dan nggak ada salahnya embrace identitas itu—karena pada akhirnya, yang terpenting adalah merasa nyaman dengan diri sendiri.