Hi Urbie’s! Bayangkan semangkuk ramen panas, nasi goreng pinggir jalan, atau camilan keripik favorit kamu. Apa kesamaan dari semuanya? Yup, rasa gurih yang bikin ketagihan! Tapi tahukah kamu bahwa rasa gurih ini punya sejarah panjang—dan juga penuh drama? Mari kita ngobrolin tentang satu bintang rahasia di dapur-dapur dunia: Monosodium Glutamat alias MSG.
Umami: Rasa Kelima yang Bikin Dunia Tak Sama Lagi
Semua bermula dari tahun 1908, ketika seorang ilmuwan Jepang bernama Kikunae Ikeda penasaran kenapa kaldu rumput laut (kombu) punya rasa yang unik dan berbeda dari rasa dasar lainnya. Ia lalu menemukan bahwa asam glutamat adalah kunci dari rasa ini. Inilah yang kemudian ia namakan umami, yang secara harfiah berarti “lezat” atau “gurih”.
Tapi Ikeda enggak berhenti di situ. Ia ingin rasa ini bisa dihadirkan di meja makan semua orang. Bersama Saburosuke Suzuki II, mereka mematenkan senyawa umami dalam bentuk kristal dan meluncurkan produk pertama di dunia berbahan dasar MSG dengan nama legendaris: Aji-No-Moto, yang berarti “esensi dari rasa”.
Diluncurkan pada tahun 1909, Aji-No-Moto langsung mendapat tempat di hati (dan lidah) masyarakat Jepang, lalu menyebar cepat ke berbagai belahan dunia. Dari dapur rumahan sampai restoran bintang lima, MSG jadi andalan.
Ketika Gurih Disalahpahami: Drama Chinese Restaurant Syndrome
Namun, sejarah MSG tak selalu lezat. Tahun 1969, dunia sempat dibuat gempar oleh artikel di New England Journal of Medicine yang menulis tentang “Chinese Restaurant Syndrome”—kondisi yang katanya dipicu oleh konsumsi makanan Tiongkok yang menggunakan MSG. Gejalanya? Pusing, berkeringat, dan jantung berdebar.
Sejak saat itu, MSG seolah-olah jadi musuh bersama. Banyak restoran dan produk makanan mulai mencantumkan label “No MSG” demi menenangkan ketakutan konsumen. Mitos dan misinformasi pun menyebar luas, tanpa dukungan riset ilmiah yang sahih.
Baca juga:
- Lebaran di Ladang Minyak: Kisah Para Pekerja Hulu Migas yang Mengabdi Tanpa Libur
- BPOM Klarifikasi Isu Penutupan Pabrik Skincare PT. Ratansha Purnama Abadi
- Nvidia Perkenalkan Groot N1: AI Canggih untuk Robot Humanoid
Sains Bicara: MSG Aman, Titik.
Kabar baiknya, setelah puluhan tahun penelitian dan pengujian, berbagai lembaga kesehatan dunia seperti WHO, FDA (Amerika Serikat), dan EFSA (Uni Eropa) menyatakan bahwa MSG aman dikonsumsi dalam batas wajar. Bahkan, tubuh manusia secara alami memproduksi glutamat, dan kita juga mendapatkannya dari makanan alami seperti tomat, keju, dan daging.
Jadi, tuduhan-tuduhan tentang MSG? Busted.
Yang menarik, banyak orang bahkan tidak menyadari bahwa beberapa makanan favorit mereka—baik dari restoran cepat saji hingga masakan rumahan—mengandung MSG, dan mereka menikmatinya tanpa masalah.
Dari Jepang ke Dunia, Dari Mitos ke Fakta
Kini, lebih dari satu abad setelah peluncurannya, Aji-No-Moto masih eksis dan menjadi salah satu merek MSG paling terkenal di dunia. Tak hanya digunakan dalam masakan Asia, MSG kini juga hadir di dapur-dapur Barat dalam bentuk kaldu instan, bumbu tabur, dan camilan.
Di era kuliner modern ini, umami bahkan jadi kata yang hype di kalangan chef profesional. Banyak restoran fine dining berlomba menghadirkan pengalaman umami dalam menu mereka, baik dari bahan alami maupun penambahan MSG secara langsung.
MSG pun bangkit dari “masa gelapnya” dan kembali mendapat tempat di hati para penikmat makanan. Ia bukan hanya bahan tambahan, tapi bagian penting dari pengalaman makan yang utuh dan memuaskan.
Jadi, Apa Pelajaran dari MSG?
Rasa bisa menyatukan banyak hal. Dari penelitian di laboratorium, ke pabrik produksi, hingga semangkuk sup yang menghangatkan hati—MSG membuktikan bahwa sains dan rasa bisa berjalan beriringan.
Dan seperti kata slogan Juspeace G-Dragon: Love Together, kita juga bisa “Eat Together”—tanpa rasa takut, tanpa prasangka, hanya dengan rasa… umami.