Home Highlight Cuti Karena Nggak Mood? Di China, Bos Ini Nggak Cuma Ngerti, Tapi...

Cuti Karena Nggak Mood? Di China, Bos Ini Nggak Cuma Ngerti, Tapi Ngedukung Banget!

43
0
ilustrasi Cuti Karena Nggak Mood - sumber foto AI chatGPT
ilustrasi Cuti Karena Nggak Mood - sumber foto AI chatGPT
Urban Vibes

Hi Urbie’s! Di tengah rutinitas kerja yang makin penuh tekanan, kamu mungkin pernah ngebatin, “Aduh, hari ini beneran nggak sanggup deh buat kerja.” Tapi sayangnya, dunia kerja sering kali nggak kasih ruang buat perasaan itu. Mood jelek? Stres? Suntuk? Ya, tetap harus masuk dan pasang senyum (palsu) dan dipersulit saat pengambilan hak cuti.

Tapi beda ceritanya di China, Urbie’s. Seorang bos di sana nggak cuma denger keluhan karyawan, tapi bener-bener ngasih solusi yang out of the box. Namanya Yu Donglai, founder dari jaringan retail Pang Dong Lai, yang baru-baru ini bikin gebrakan dengan ngasih jatah cuti buat karyawan yang lagi nggak mood kerja. Iya, kamu nggak salah baca. Mereka nyebutnya “unhappy leave”, dan tiap karyawan punya jatah sampai 10 hari per tahun buat itu!

Artinya? Kalau kamu bangun pagi dan ngerasa dunia terlalu berat untuk dihadapi hari ini, kamu bisa ajukan cuti dan… istirahat. Nggak perlu alasan medis, nggak perlu surat dokter, dan yang paling keren: atasan nggak bisa nolak!

Kebijakan ini bukan basa-basi ala HRD yang cuma manis di kertas. Ini adalah bentuk nyata perhatian pada kesehatan mental karyawan. Yu Donglai percaya bahwa kesejahteraan psikologis jauh lebih penting dari sekadar target angka dan laporan bulanan. Menurutnya, karyawan yang dihargai sebagai manusia, bukan mesin produksi, bakal punya loyalitas dan performa yang lebih tahan lama.

Dan ini bukan satu-satunya hal yang bikin iri. Pang Dong Lai juga menerapkan sistem kerja yang jauh dari “budaya hustle” yang melelahkan:

  • Jam kerja cuma tujuh jam per hari
  • Libur tiap akhir pekan
  • Jatah cuti tahunan antara 30 sampai 40 hari
  • Libur panjang saat Tahun Baru Imlek buat quality time bareng keluarga

Nggak heran, banyak netizen di China dan luar negeri yang memuji kebijakan ini. Di era di mana “kerja keras tanpa henti” sering diagung-agungkan, Yu Donglai justru hadir sebagai oase. Dia nunjukkin bahwa perusahaan bisa tetap jalan, bahkan berkembang, tanpa harus mengorbankan kebahagiaan karyawannya.

Baca juga:

Tapi tentu, muncul juga pertanyaan besar yang bikin kita merenung:

“Kalau bisa diterapin di China, kenapa di tempat lain—termasuk Indonesia—masih banyak yang ngerasa bersalah kalau ambil cuti?”

Faktanya, di banyak perusahaan, cuti masih dianggap “kelebihan” yang cuma boleh dipakai kalau darurat. Bahkan nggak sedikit yang harus kerja lembur tanpa bayaran, atau malah diminta standby saat liburan. Padahal, burnout itu nyata. Dan ketika kita dipaksa terus produktif tanpa jeda, bukan cuma kualitas kerja yang turun—kesehatan fisik dan mental juga kena imbasnya.

Kebijakan Yu Donglai ini seolah jadi tamparan halus buat dunia kerja global:
Sudah waktunya kita mikir ulang soal kerja.
Nggak semua soal target dan performa. Ada rasa lelah, ada kebutuhan untuk istirahat, ada ruang yang harusnya disediakan untuk merasa nggak baik-baik aja.

Coba bayangin, Urbie’s, kalau kantor kamu mulai nerapin kebijakan kayak gini. Mungkin kita nggak akan lagi pura-pura semangat saat hati lagi remuk. Mungkin kita bisa healing tanpa rasa bersalah. Mungkin… kita bisa kerja sambil tetap jadi manusia.

Jadi, apakah “unhappy leave” ini cuma angan-angan? Atau justru sinyal bahwa masa depan dunia kerja bisa lebih manusiawi?

Apapun jawabannya, satu hal jelas: kebijakan seperti ini layak diperjuangkan. Karena kerja keras itu penting, tapi bahagia saat kerja jauh lebih berharga.

Urban Vibes

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here