Home Lifestyle Cantik Ala TikTok: Fenomena Standar Kecantikan Baru yang Bikin Cermin Takut

Cantik Ala TikTok: Fenomena Standar Kecantikan Baru yang Bikin Cermin Takut

429
0
Ilustrasi Cantik Ala TikTok: Fenomena Standar Kecantikan Baru yang Bikin Cermin Takut. Foto: Freepik
Ilustrasi Cantik Ala TikTok: Fenomena Standar Kecantikan Baru yang Bikin Cermin Takut. Foto: Freepik
Mercure

Di era digital ini, satu swipe ke atas di TikTok bisa membuat kita merasa kurang. Kulit harus mulus, hidung mesti mancung, badan ideal, makeup flawless, dan semua itu dibungkus dengan lighting yang sempurna. Selamat datang di dunia “Standar TikTok”, tempat algoritma dan filter membentuk definisi cantik masa kini.

Fenomena ini bukan sekadar tren sementara. Ia sudah menjelma jadi budaya baru yang diam-diam membentuk cara generasi muda, terutama Gen Z saat melihat diri. Konten Get Ready With Me, Glow Up Transformation, hingga Before After menjadi konsumsi harian jutaan pengguna.

Tapi di balik sorotan ring light dan caption positif, tersimpan tekanan tak kasat mata yang nyata, yaitu standar kecantikan yang nyaris mustahil dicapai secara alami.

Ketika Filter Jadi Realita

Aplikasi TikTok awalnya menjadi tempat berekspresi bebas. Namun seiring berkembangnya fitur filter dan AI beauty tools, batas antara realita dan ilusi makin kabur. Yang semula iseng mencoba filter jadi keterusan. Lalu tanpa sadar, wajah tanpa filter terasa asing, dan parahnya, jadi kurang layak untuk diunggah.

Baca juga:

Menurut survei dari Harvard University tahun 2023, 68% remaja pengguna TikTok merasa kurang percaya diri terhadap penampilan mereka setelah menggunakan filter. Dan 1 dari 3 mengaku pernah mempertimbangkan prosedur kecantikan hanya karena merasa “tidak sesuai standar konten TikTok”.

Beauty Culture 2.0: Standar yang Semu

Yang disebut cantik hari ini bukan lagi tentang ekspresi diri, tapi tentang algoritma. Wajah simetris, bibir penuh, kulit putih glowing, dan rambut sehat kini dianggap “wajar”. Padahal, banyak dari standar ini dibentuk oleh teknologi, bukan genetik atau perawatan.

Tidak sedikit pula konten kreator yang secara tidak langsung mempromosikan produk dan prosedur kecantikan dengan embel-embel self-love atau glow up journey, tanpa menyebutkan sponsor di baliknya. Ini melanggar prinsip kode etik jurnalistik digital yaitu menyajikan informasi secara transparan dan tidak menyesatkan.

Dampak Psikologis: Harga Mahal Demi Validasi

Bagi generasi 18-25 tahun yang sedang membentuk identitas diri, standar TikTok bisa menjadi pisau bermata dua. Di satu sisi, ia menawarkan inspirasi dan motivasi untuk tampil lebih baik. Tapi di sisi lain, ia menciptakan kecemasan sosial, krisis kepercayaan diri, hingga depresi ringan karena merasa “tidak cukup baik”.

Psikolog klinis, menyebut bahwa tekanan sosial di TikTok bisa menjadi bentuk “toxic validation loop”. Kita merasa harus terus terlihat sempurna demi likes dan views, padahal itu bukan cerminan utuh dari siapa kita sebenarnya.

Fenomena standar TikTok tidak akan hilang dalam semalam. Tapi kita bisa mulai melawan balik dengan satu hal yaitu keaslian. Konten tanpa filter, unggahan tanpa edit, dan keberanian tampil apa adanya bisa jadi langkah kecil yang berdampak besar.

Untukmu yang membaca ini, ingat! Kamu tidak harus terlihat seperti FYP untuk jadi versi terbaik dirimu.

Novotel Gajah Mada

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here