Home Lifestyle Bucin Tolol: Ketika Cinta Membutakan Logika, Tapi Tetap Dinormalisasi

Bucin Tolol: Ketika Cinta Membutakan Logika, Tapi Tetap Dinormalisasi

568
0
Ilustrasi Bucin Tolol: Ketika Cinta Membutakan Logika, Tapi Tetap Dinormalisasi, Foto: Freepik
Ilustrasi Bucin Tolol: Ketika Cinta Membutakan Logika, Tapi Tetap Dinormalisasi, Foto: Freepik
ohbeauty.id

Hi Urbie’s! Fenomena bucin tolol bukan sekadar soal cinta berlebihan, tapi cermin dari krisis identitas, ketimpangan relasi, dan budaya validasi semu di era digital.

“Kalau dia selingkuh, berarti aku yang kurang cukup buat dia”.

Kalimat ini terdengar di kafe pinggir jalan Jakarta Selatan, keluar dari mulut seorang gadis dengan mata sembab. Temannya hanya mengangguk pelan, entah mengiyakan atau lelah mendengar curhatan serupa yang terus berulang.

Selamat datang di dunia bucin tolol, bukan hanya karena mencintai secara berlebihan, tapi mencintai sampai kehilangan harga diri. Di kalangan anak muda, terutama rentang usia muda, istilah ini makin populer. Tapi lebih dari sekadar istilah gaul, bucin tolol mencerminkan fenomena sosial yang lebih dalam.

Apa Itu Bucin Tolol?

Bucin adalah singkatan dari “budak cinta”, sedangkan tambahan kata “tolol” memberi konotasi bahwa seseorang telah kehilangan nalar karena cinta. Ia tahu dipermainkan, tapi tetap bertahan. Ia sadar dirinya dimanipulasi, tapi menolak pergi. Ini bukan cinta yang romantis ala drama Korea. Ini cinta yang membutakan, mengikis logika, dan sering kali merusak diri sendiri.

Fenomena bucin tolol banyak terjadi di era digital, di mana validasi hadir lewat story Instagram, balasan chat cepat, atau ucapan manis yang dibalut toxic relationship. Alih-alih mengenali tanda-tanda hubungan tidak sehat, banyak anak muda memilih untuk bertahan demi sesuatu yang mereka sebut “perjuangan”.

Kenapa Bisa Jadi Bucin Tolol?

Psikolog hubungan menyebut ada tiga penyebab utama:

  1. Ketakutan akan kesepian,
  2. Kebutuhan akan validasi, dan
  3. Keterbatasan literasi emosi.

Banyak anak muda belum cukup mengenali batas antara cinta dan ketergantungan emosional. Mereka menganggap pengorbanan sebagai bentuk cinta sejati, tanpa tahu bahwa cinta yang sehat tidak selalu menyakitkan.

Selain itu, media sosial memperparah keadaan. Postingan relationship goals bisa jadi racun yang memaksa seseorang untuk terus bertahan demi tampilan hubungan sempurna di mata orang lain.

Baca Juga:

Apa Dampaknya?

Dampak paling nyata adalah penurunan harga diri. Seseorang yang terus-menerus ditolak, diselingkuhi, atau tidak dihargai tapi tetap bertahan, perlahan kehilangan kepercayaan pada dirinya sendiri. Tidak sedikit pula yang mengalami gangguan mental seperti depresi ringan hingga berat, kecemasan, bahkan trauma relasi.

Dalam jangka panjang, bucin tolol menciptakan pola hubungan yang berulang yaitu menjadi korban atau justru pelaku dalam siklus relasi yang tidak sehat.

Saatnya Melek Emosi dan Logika

Menjadi bucin bukan dosa. Tapi menjadi bucin tolol, yang tahu dirugikan tapi memilih diam adalah alarm untuk mulai mencintai diri sendiri. Anak muda perlu diajak untuk mengenali tanda-tanda red flag, membangun kepercayaan diri, dan mengedepankan logika dalam mencintai.

Sebab cinta seharusnya menyembuhkan, bukan menghancurkan.

Cinta memang tidak selalu masuk akal, tapi bukan berarti harus mengorbankan harga diri. Menjadi bucin sah-sah saja, asal tetap waras. Dan jika kamu sedang dalam fase bucin tolol, ingat! keluar dari hubungan yang salah bukan berarti gagal mencintai, tapi berhasil menyelamatkan diri.

Novotel Gajah Mada

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here