Hi Urbie’s! Dulu, jadi “cewek baik-baik” adalah standar emas. Harus ramah, sabar, gak boleh marah, apalagi egois. Tapi sekarang? Dunia berubah. Muncullah era baru yaitu villain era. Fenomena ini jadi sorotan di media sosial, terutama di kalangan cewek usia 18–25 tahun. Tapi, apa sih sebenarnya villain era itu?
Dari Baik Hati ke Badass: Apa Itu Villain Era?
Villain era bukan berarti perempuan tiba-tiba berubah jadi jahat seperti karakter antagonis di film Disney. Ini adalah simbol perlawanan. Ketika perempuan mulai memilih dirinya sendiri, mengatakan “tidak” tanpa rasa bersalah, memutus hubungan yang toksik, dan mengambil keputusan tanpa harus menyenangkan semua orang, itulah momen mereka memasuki villain era.
Konsep ini viral di TikTok, Instagram, dan X. Konten bertema “enter villain era” bertebaran, lengkap dengan musik-musik dramatis dan potongan visual penuh gaya. Tapi lebih dari sekadar tren visual, ini adalah bentuk self empowerment. Karena di balik label “jahat”, ada keberanian untuk berubah.
Kenapa Banyak Cewek Masuk Villain Era?
Jawabannya sederhana, capek. Banyak perempuan yang selama ini hidup untuk memenuhi ekspektasi, baik dari keluarga, pacar, bahkan lingkungan sosial. Mereka tumbuh dengan kalimat seperti “kamu harus sabar”, “jangan egois”, “perempuan yang baik itu nurut”. Lama-lama, semua itu menjadi beban.
Villain era jadi simbol pembebasan. Di era ini, cewek belajar memprioritaskan dirinya sendiri tanpa merasa bersalah. Mereka mulai paham bahwa jadi “baik” gak harus berarti mengorbankan kebahagiaan sendiri. Ini adalah titik balik dari “people pleaser” jadi “self lover”.
Antara Empowerment dan Narcissism
Meski menginspirasi, fenomena ini juga punya sisi yang kontroversial. Beberapa psikolog menyoroti bagaimana villain era bisa disalahartikan. Ada yang menjadikan ini alasan untuk berlaku kasar, menghindari tanggung jawab, atau menormalisasi sifat egois berlebihan.
“Tapi bukankah setiap perubahan besar pasti ada akibatnya?” kata Rani, 24 tahun, mahasiswi yang mengaku sedang dalam fase villain era-nya. “Awalnya aku takut dibilang jahat karena mulai nolak ajakan yang gak aku mau, atau mutusin hubungan yang ngerugiin aku. Tapi sekarang, aku sadar, menjaga diri itu bukan dosa”.
Villain era bukan ajakan untuk jadi anti-sosial atau tukang marah-marah. Ini soal belajar berkata jujur, mengatur batasan, dan mencintai diri sendiri tanpa harus meminta izin.
Tren Sementara atau Gerakan Sosial?
Apakah ini hanya tren sesaat? Atau tanda perubahan yang lebih dalam? Dalam kajian budaya pop dan sosiologi, munculnya villain era mencerminkan transisi sosial di mana perempuan makin sadar akan haknya. Mereka tak lagi mau jadi korban narasi yang memaksa untuk selalu mengalah.
Kehadiran tokoh-tokoh perempuan kuat di film dan serial, seperti Rhaenyra di House of the Dragon, atau Maddie di Euphoria juga memperkuat narasi ini. Mereka bukan karakter ideal yang selalu benar, tapi mereka tahu apa yang mereka mau, dan tak takut membayarnya.
Villain era bukan tentang jadi jahat. Ini tentang membalik peran, dari selalu memberi jadi tahu kapan berhenti. Dari selalu diam jadi berani bersuara. Di era di mana perempuan sering dinilai dari seberapa “baik” mereka, mungkin memang sudah waktunya kita bertanya ulang, definisi “baik” itu siapa yang tentukan?
Karena kadang, untuk menemukan bahagia, kita memang harus berani jadi tokoh utama, meski dunia menyebut kita villain.






















































