
Hi Urbie’s! Di balik senyum manis teman yang selalu terlihat effortless, pernahkah kamu bertanya, kenapa hidupnya terlihat lebih mudah? Sementara kamu harus jungkir balik kerja sambilan, ikut organisasi, sambil tetap jaga IPK agar nggak jeblok. Inilah yang disebut privilege, sebuah fenomena sosial yang kerap tak disadari, tapi sangat memengaruhi arah hidup seseorang sejak awal.
Privilege bukan cuma soal uang. Ia bisa berupa akses pendidikan berkualitas, dukungan keluarga, relasi, hingga lingkungan yang mendukung tumbuh kembang seseorang tanpa tekanan. Bayangkan dua orang mahasiswa, sebut saja Dinda dan Riko. Dinda lahir dari keluarga mapan, punya laptop mahal, bisa ikut kursus ini-itu, dan fokus belajar karena urusan dapur sudah beres. Sedangkan Riko, harus kerja sambilan malam hari, pinjam laptop teman, dan belajar di bawah tekanan karena jadi tulang punggung keluarga.
Privilege Bukan Salah Siapa-Siapa, Tapi Tanggung Jawab Bersama
Sering kali, ketika membahas soal privilege, muncul sentimen defensif: “Lho, aku juga kerja keras kok!” Dan itu benar. Orang yang punya privilege pun bisa bekerja keras. Tapi penting untuk sadar bahwa garis start kita memang tidak sama. Kesadaran inilah yang bisa membuat kita lebih empati, bukan malah saling menyalahkan.
Generasi muda, terutama kamu yang berusia 18-25 tahun, sedang ada di masa membentuk identitas. Di tengah kompetisi dan tekanan sosial media, mudah sekali merasa hidup ini nggak adil. Tapi dengan memahami privilege, kita bisa lebih realistis menilai situasi, membangun solidaritas, dan menciptakan ruang yang lebih inklusif.
Baca Juga:
- “Daredevil: Born Again” Musim 2 Tayang Maret 2026! Siap-Siap Nonton Aksi Matt Murdock Lagi!
- Kartini di Ladang Migas, Ketika Perempuan Menjadi Energi Baru Indonesia
- Viral Azan dari Hawaii, Harmoni Islam di Negeri Aloha
Dari Kesadaran Menuju Aksi
Apa gunanya menyadari privilege? Jawabannya, supaya kita bisa bergerak bersama. Kalau kamu termasuk yang punya akses lebih, jadikan itu alat bantu orang lain. Bagikan informasi magang, bantu teman belajar, atau sekadar jadi pendengar yang baik. Sedangkan jika kamu merasa punya beban lebih berat, jangan ragu minta bantuan. Karena meminta bantuan bukan berarti lemah, tapi tahu kapan harus bertahan dan kapan harus dibantu.
Sosial media juga bisa jadi ruang untuk menyuarakan ketimpangan ini, asalkan disampaikan dengan data dan empati, bukan sekadar nyinyir. Perubahan sosial memang nggak instan, tapi dimulai dari satu langkah kecil yaitu kesadaran.
Keduanya mungkin masuk kampus yang sama. Tapi jalan yang mereka lalui sangat berbeda.
Di Mana Peran Media?
Sebagai wartawan, kami pun punya tanggung jawab, yaitu menyajikan cerita yang jujur dan berimbang. Bukan cuma menyorot kisah sukses, tapi juga mengangkat perjuangan yang tersembunyi. Karena setiap orang punya cerita, dan cerita itu layak didengar.
Privilege memang nyata, dan tak bisa dihapuskan begitu saja. Tapi lewat empati, solidaritas, dan aksi kecil, kita bisa sedikit demi sedikit menyamakan langkah. Bukan dengan menurunkan siapa pun, tapi dengan memastikan semua orang bisa punya peluang yang adil.
Kalau kamu pernah merasa dunia ini nggak adil, itu wajar. Tapi daripada diam, yuk kita mulai saling memahami. Karena siapa tahu, suara kecilmu bisa jadi gema perubahan besar.