Hi Urbie’s! “Kalau dia nggak bisa kasih aku sesuatu, kenapa aku harus bertahan?”. Kalimat itu meluncur begitu saja dari seorang teman saat bercerita soal hubungan pacarnya. Bukan karena disakiti, bukan karena tidak disayang, tapi karena, katanya, “nggak ada value-nya lagi”. Seolah cinta telah menjelma jadi grafik naik turun nilai tukar. Ini bukan soal matre atau perhitungan. Ini soal bagaimana hubungan kini berubah menjadi transaksi yang tidak selalu melibatkan uang.
Hubungan Zaman Now: Lebih dari Sekadar Rasa
Di tengah gempuran budaya hustle, standar hidup yang makin tinggi, dan ekspektasi media sosial, banyak anak muda melihat hubungan bukan lagi sebagai ruang berbagi, tapi sebagai investasi. Wajar saja, kita tumbuh di era di mana waktu, tenaga, dan emosi dianggap sebagai resource yang harus memberi return.
Kamu kasih effort? Maka kamu berharap ada timbal balik. Kamu kasih perhatian? Maka kamu ingin diprioritaskan. Dan kalau itu tidak terjadi? Maka kamu merasa rugi.
Apakah Semua Hubungan Itu Transaksional?
Jawabannya iya, dalam kadar tertentu. Bahkan hubungan orangtua dan anak pun bisa jadi transaksional jika hanya berjalan satu arah. Tapi bedanya ada pada intensi. Hubungan yang sehat tetap memberi dan menerima, tapi tidak didasari oleh perhitungan kaku.
Transaksional yang dimaksud di sini bukan soal “aku beliin kamu barang, kamu harus nurut”. Tapi lebih halus, seperti ekspektasi tersembunyi yang bisa jadi jebakan. Misalnya, “aku udah nemenin kamu di masa sulit, jadi kamu harus terus bersamaku”.
Itu bukan cinta. Itu utang budi berkedok kasih sayang.
Baca Juga:
- “Daredevil: Born Again” Musim 2 Tayang Maret 2026! Siap-Siap Nonton Aksi Matt Murdock Lagi!
- Kartini di Ladang Migas, Ketika Perempuan Menjadi Energi Baru Indonesia
- Viral Azan dari Hawaii, Harmoni Islam di Negeri Aloha
Kenapa Fenomena Ini Terjadi?
Kecemasan Finansial
Di usia muda, banyak dari kita sedang membangun masa depan. Tak heran, segala hal yang tidak memberi dampak langsung ke stabilitas hidup terasa membuang waktu.
Budaya Komparasi
Melihat pasangan lain traveling tiap bulan atau tukar kado mewah di TikTok menciptakan ilusi standar hubungan yang harus serba mahal dan megah.
Self-Worth yang Dikaitkan dengan Nilai Ekonomi
Kita diajari untuk punya value. Tapi sering kali, value itu hanya dilihat dari apa yang bisa kita beri, baik materi, koneksi, maupun status sosial.
Apakah Salah Punya Ekspektasi?
Tidak salah. Tapi, ekspektasi harus dikomunikasikan dan diseimbangkan. Hubungan bukan soal siapa yang bisa memberi paling banyak, tapi siapa yang mau tumbuh bersama.
Jika sejak awal hubungan dibangun atas dasar “apa yang bisa aku dapatkan darimu”, maka saat fase sulit datang ketika pasangan kehilangan pekerjaan, atau tidak bisa memberi seperti dulu maka hubungan itu pun beresiko ikut runtuh.
Cinta Bukan tentang Hitung-Hitungan
Penting untuk bertanya pada diri sendiri:
Apakah aku bersama dia karena aku mencintainya, atau karena aku merasa mendapatkan sesuatu darinya?
Dan lebih penting lagi:
Jika semua keuntungan itu hilang, apakah aku masih mau bertahan?
Tidak ada yang salah dengan mencari pasangan yang bisa memberi rasa aman, stabilitas, atau support sistem. Tapi jika hubungan hanya jadi transaksi, maka suatu saat akan jatuh tempo.
Di usia muda ini, belajarlah mencintai dengan sadar, bukan karena dia bisa memberi, tapi karena kamu bisa jadi versi terbaik dirimu bersamanya. Karena hubungan yang sehat bukan tentang “aku dapat apa” tapi “kita jadi apa”.