Hi Urbie’s! Malam semakin larut. Di kamar yang hanya ditemani cahaya ponsel, seorang mahasiswi bernama Olivia menulis panjang lebar kepada chatbot AI. Bukan soal tugas kuliah, melainkan tentang rasa cemasnya yang tak kunjung reda sejak ditinggal sang mantan. “Aku cuma ingin didengar, tanpa dihakimi”, tulisnya.
Fenomena curhat dengan Artificial Intelligence kini jadi hal lazim di kalangan Gen Z. Dari chatbot hingga asisten virtual seperti ChatGPT, banyak dari mereka menjadi “teman digital” yang setia menerima keluh kesah. Tapi pertanyaannya, apakah aman secara psikologis untuk menggantungkan emosi pada mesin?
AI Jadi Tempat Curhat, Mengapa Bisa?
Psikolog Klinis menyebut bahwa alasan utama anak muda curhat ke AI adalah accessibility dan anonymity. Mereka merasa lebih nyaman karena AI tidak akan menghakimi, tidak menyebarkan cerita, dan selalu siap mendengarkan 24 jam.
Dalam dunia yang penuh tekanan sosial, ekspektasi orang tua, dan cemas akan masa depan, AI hadir sebagai pelarian instan. Tak perlu antre seperti saat ingin bertemu psikolog, tak perlu takut dikira “lemah” oleh teman. Semua percakapan terasa aman karena hanya ada pengguna dan mesin.
Manfaatnya: Ruang Aman Sementara
Dari sisi psikologis, curhat pada AI bisa memberi manfaat jangka pendek. Menulis atau mengungkapkan perasaan, meskipun hanya ke AI, tetap bisa mengurangi beban emosi. Ini mirip seperti journaling atau self-talk.
Baca juga:
- Lebaran di Ladang Minyak: Kisah Para Pekerja Hulu Migas yang Mengabdi Tanpa Libur
- BPOM Klarifikasi Isu Penutupan Pabrik Skincare PT. Ratansha Purnama Abadi
- Nvidia Perkenalkan Groot N1: AI Canggih untuk Robot Humanoid
Bagi banyak pengguna muda, AI bisa membantu mereka mengidentifikasi perasaan, memberi validasi, bahkan memberikan saran dasar soal manajemen stres atau kecemasan. Fitur ini menjadi semacam “pertolongan pertama” sebelum mereka berani mencari bantuan profesional.
Tapi Hati-hati, AI Bukan Terapi
Meski menawarkan kenyamanan, AI tetap bukan pengganti tenaga kesehatan mental. AI tidak bisa membaca ekspresi, tidak memahami konteks kehidupan seseorang secara mendalam.
Ada risiko pengguna terlalu bergantung pada AI. AI bisa memberi ilusi koneksi emosional, padahal hubungan itu satu arah dan tak melibatkan empati manusia. Terlebih, AI tidak terlatih menangani kondisi berat seperti trauma, depresi akut, atau ide bunuh diri.
Curhat Sehat: Seimbangkan Teknologi dan Manusia
Solusinya? AI bisa tetap jadi teman curhat, asalkan digunakan secara bijak. Anak muda tetap disarankan untuk memiliki support system di dunia nyata, baik teman, keluarga, atau tenaga profesional.
Beberapa platform kesehatan mental kini bahkan mengombinasikan AI dengan pendampingan manusia, menciptakan jembatan antara teknologi dan terapi yang sesungguhnya.
AI sebagai Teman, Bukan Pelarian
Di tengah hiruk-pikuk dunia digital, tak ada salahnya jika AI menjadi tempat singgah saat hati lelah. Tapi penting diingat, mesin tak bisa menggantikan pelukan hangat, tatapan penuh empati, atau kalimat “Aku paham kamu” dari manusia lain.
Buat kamu yang sedang merasa “sesak”, tak ada yang salah dengan curhat ke AI. Tapi jika keluhanmu terus datang, jangan ragu mencari bantuan profesional. Karena meski AI bisa mendengar, hanya manusia yang bisa benar-benar memahami.