Home Health Millennials di Titik Lelah: Burnout Menyerang di Semua Usia, Tapi Generasi Ini...

Millennials di Titik Lelah: Burnout Menyerang di Semua Usia, Tapi Generasi Ini Paling Terdampak

273
0
ilustrasi generasi Millenial Burnout akibat perkerjaan - sumber foto Istock
ilustrasi generasi Millenial Burnout akibat perkerjaan - sumber foto Istock
Mercure

Hi Urbie’s! Burnout tidak mengenal jabatan, usia, atau industri. Laporan terbaru dari Aflac menunjukkan bahwa kelelahan mental dan emosional kini menjadi epidemi baru di lingkungan kerja modern. Bahkan, sekitar 66% milenial melaporkan mengalami burnout dalam tingkat sedang hingga tinggi.

Angka ini menjadikan generasi milenial sebagai kelompok paling terdampak, melampaui Gen X yang berada di angka 60%, Gen Z di 56%, dan Baby Boomer dengan tingkat burnout terendah sebesar 39%.

Nggak Cuma Kamu yang Merasa Capek Terus, Ini Realita Satu Generasi

Pernah merasa bangun pagi seperti belum tidur semalaman? Atau tiba-tiba stuck di tengah meeting walau baru jam 10 pagi? Jangan buru-buru menyalahkan diri sendiri, Urbie’s—bisa jadi kamu bagian dari jutaan milenial yang sedang mengalami burnout diam-diam.

Burnout bukan sekadar kelelahan biasa. Ia datang perlahan tapi menyeluruh. Menggerus semangat kerja, menyerap kreativitas, dan membuat kamu bertanya-tanya: “Ini kerja atau menyiksa diri?” Sayangnya, kondisi ini semakin dianggap normal—apalagi di tengah budaya hustle dan glorifikasi sibuk yang begitu kuat.

Mengapa Millennials Paling Rentan?

Banyak pakar psikologi sepakat bahwa tekanan pada generasi milenial lebih kompleks dari sekadar beban kerja. Mereka tumbuh di era digital yang menuntut respons cepat, pencapaian instan, dan ekspektasi sosial yang kian tinggi. Di usia yang seharusnya mapan, justru banyak milenial masih berkutat dengan cicilan, biaya hidup, dan ketidakpastian masa depan.

Belum lagi tekanan dari media sosial yang terus membandingkan hidup satu sama lain. Meskipun hanya unggahan editan atau potongan momen terbaik, tetap saja itu membentuk standar palsu yang bisa merusak mental—secara perlahan namun pasti.

Baca Juga:

Apa Kata Data?

Laporan Aflac menyebutkan bahwa burnout paling tinggi justru terjadi di kalangan profesional muda dan middle manager. Ini adalah kelompok yang seringkali terjebak di tengah: mereka sudah tidak bisa “santai-santai seperti anak magang”, tapi juga belum punya otoritas penuh untuk mengontrol ritme kerja seperti top-level eksekutif.

“Para milenial berada di persimpangan antara beban kerja tinggi dan tanggung jawab hidup yang semakin besar,” tulis laporan tersebut. “Mereka juga cenderung merasa lebih bersalah ketika mengambil cuti atau waktu istirahat, karena takut dinilai kurang produktif.”

Gen Z dan Gen X, Nggak Kalah Lelah

Meski milenial mendominasi angka tertinggi, Gen Z dan Gen X juga tidak jauh berbeda. Gen Z, meskipun terkesan ‘bebas’ dan ‘melek mental health’, ternyata tetap rentan terhadap tekanan kerja—khususnya karena mereka baru mulai merintis karier. Di sisi lain, Gen X harus juggling antara tanggung jawab kantor dan keluarga, terutama yang punya anak usia sekolah.

Dan Baby Boomer? Mereka memang menunjukkan angka burnout terendah, tapi bukan berarti imun. Kebanyakan dari mereka sudah lebih matang secara emosional dan memiliki kontrol lebih atas beban kerja, sehingga cenderung lebih resilien.

Lalu, Solusinya Apa?

Urbie’s, kamu nggak bisa menghindari semua tekanan hidup. Tapi kamu bisa mulai membangun sistem yang menjaga kesehatan mental. Beberapa cara yang disarankan oleh pakar adalah:

  • Menerapkan batas kerja yang jelas. WFO bukan berarti 24/7 on-call.
  • Berani cuti tanpa rasa bersalah. Ingat, kamu pekerja, bukan robot.
  • Cari komunitas atau support group. Sekadar curhat bisa sangat membantu.
  • Evaluasi pekerjaan. Apakah ini tempat yang membuatmu tumbuh atau justru habis?

Dan yang terpenting, kamu berhak merasa lelah. Kamu manusia. Jangan paksakan selalu terlihat kuat di permukaan jika hatimu sudah berteriak minta istirahat.

Burnout adalah Musuh Diam-diam

Kita hidup di dunia yang menuntut kita jadi serba bisa, serba cepat, dan selalu unggul. Tapi kalau tubuh dan pikiran sudah nggak sanggup, apa gunanya semua pencapaian?

So, mulai sekarang, jadikan kesehatan mental sebagai prioritas. Nggak perlu tunggu “sakit” dulu untuk berhenti sejenak. Karena jujur aja Urbie’s, istirahat adalah produktivitas juga, hanya dalam bentuk yang berbeda.

Swiss-Belexpress Kuta

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here