Hi Urbie’s! Aktor legendaris Robert de Niro melayangkan kritik tajam kepada mantan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, dalam momen pembukaan Festival Film Cannes 2025. Aksi ini terjadi di Grand Theatre Lumiere, Prancis, Selasa (13/5/2025) waktu setempat, saat de Niro menerima penghargaan bergengsi Honorary Palme d’Or dari tangan Leonardo DiCaprio. Dalam pidato singkatnya yang penuh makna, de Niro menyebut Trump sebagai seorang philistine—istilah untuk orang yang memusuhi, tidak memahami, atau tidak peduli terhadap seni dan budaya.
Festival tahun ini sebenarnya ingin mengambil jarak dari dunia politik. Namun, realitas global yang begitu mengganggu sulit diabaikan. Dengan kehadiran film-film yang berasal dari Gaza, Ukraina, dan Iran, serta pengumuman kebijakan tarif terbaru dari Trump hanya beberapa hari sebelum festival dimulai, suasana Cannes tahun ini tak bisa dilepaskan dari konteks sosial dan politik dunia.
Cannes 2025 Bukan Sekadar Festival, Tapi Cermin Keresahan Dunia
Kalau biasanya Festival Film Cannes identik dengan gaun mewah, karpet merah, dan debut film-film kelas dunia, tahun ini terasa berbeda. Dari sinema hingga sambutan di panggung, Cannes 2025 jadi ruang reflektif untuk menyuarakan nurani.
Robert de Niro memanfaatkan momen penghargaan seumur hidupnya untuk menyentil Trump secara langsung di hadapan insan perfilman dari berbagai negara. Dengan suara lantang, ia menyebut bahwa Trump adalah ancaman bagi kebebasan berpikir, meremehkan seni, dan mempersempit ruang kreativitas. De Niro bahkan menyiratkan kekhawatirannya terhadap masa depan jika Trump kembali berkuasa.
Kritik ini tidak berdiri sendiri. Juliette Binoche, aktris senior Prancis yang menjabat sebagai ketua juri Cannes tahun ini, juga angkat bicara. Dalam pidatonya, Binoche menyampaikan penghormatan mendalam kepada Fatma Hassona, jurnalis foto Palestina yang tewas dalam serangan udara Israel di Gaza. Fatma menjadi pusat perhatian karena ia tampil sebagai tokoh utama dalam sebuah film dokumenter yang dijadwalkan tayang di Cannes tahun ini.
Film sebagai Suara Perlawanan: Gaza, Ukraina, Iran Masuk Panggung Dunia
Festival tahun ini tidak bisa tidak politis. Dari Ukraina, hadir film dokumenter yang merekam kisah seorang ibu tunggal yang kehilangan dua anaknya akibat perang. Dari Iran, ada film semi-fiksi tentang remaja perempuan yang memperjuangkan kebebasan pendidikan di tengah sensor ketat. Sementara itu, film dari Gaza yang menampilkan Fatma Hassona sebagai tokoh sentral, memberikan gambaran mentah dan menyayat tentang hidup di bawah bayang-bayang serangan militer.
Ketiganya bukan sekadar dokumentasi. Mereka adalah bentuk keberanian. Mereka adalah pernyataan politik yang kuat tentang kemanusiaan, resistensi, dan harapan.
Baca Juga:
- Panji Tengkorak Bangkit! Adaptasi Komik Legendaris Ini Hadir dalam Wujud Animasi
- Destinasi Serbaguna Tepi Pantai Nusa Dua: Dari Kuliner, Meeting, hingga Festival Musik
- ‘Karate Kid: Legends’ Hadirkan Jackie Chan dan Generasi Baru, Ben Wang Siap Jadi Penerus
Trump dan Bayang-Bayangnya di Cannes
Hanya beberapa hari sebelum festival digelar, Donald Trump mengumumkan kebijakan tarif dagang baru yang dinilai akan memperkeruh situasi ekonomi global. Bagi sebagian besar seniman yang hadir di Cannes, hal ini dianggap sebagai pengalihan perhatian dari konflik-konflik yang lebih mendesak, termasuk krisis kemanusiaan yang terjadi di Gaza dan Ukraina.
De Niro pun tampaknya tidak bisa tinggal diam. “Seni dan budaya adalah alat perlawanan terakhir ketika demokrasi mulai kehilangan suaranya,” ucapnya, disambut tepuk tangan panjang. Pernyataan ini menjadi simbol bahwa Cannes bukan hanya tentang selebrasi film, tetapi juga medan pertempuran nilai-nilai.
Cannes Tahun Ini adalah Seruan Nurani Global
Festival Film Cannes 2025 menjadi lebih dari sekadar tempat peluncuran film. Ia berubah menjadi ruang perenungan, sebuah panggung untuk suara-suara yang selama ini dibungkam. Dari kritik de Niro terhadap Trump, penghormatan kepada Fatma Hassona, hingga kehadiran film-film yang mengguncang nurani, Cannes menunjukkan bahwa seni tidak bisa dipisahkan dari kenyataan.
Hi Urbie’s, di tengah gegap gempita industri hiburan, Cannes mengingatkan kita bahwa film adalah bahasa universal yang mampu menerobos batas politik, geografis, bahkan ideologis. Dan ketika realita terlalu keras untuk dihadapi, sinema menjadi medium yang paling jujur untuk menyampaikan kebenaran.