Hi Urbie’s! Kita semua kenal sosok Santa Claus: pria tua berjenggot putih, berbaju merah tebal, bertopi pom-pom, lengkap dengan perut buncit dan tawa khasnya, “Ho ho ho!” Tapi pernahkah kamu bertanya-tanya—kenapa Santa tampil dengan gaya itu? Jawabannya ada di balik strategi branding jenius dari Coca-Cola.
Yup, Urbie’s, visual Santa Claus seperti yang kita kenal hari ini bukan hasil cerita rakyat semata. Sosok ikonik ini dibentuk dan dipopulerkan secara global oleh Coca-Cola pada era 1930-an, lewat tangan dingin seorang ilustrator legendaris bernama Haddon Sundblom.
Dari Saint Nicholas ke Santa Coca-Cola
Sebelum era Coca-Cola, gambaran tentang Santa Claus masih beragam. Ada yang menggambarkannya mirip biksu, ada pula yang mengenakannya dengan jubah hijau atau cokelat. Bahkan pada abad ke-19, Santa belum punya bentuk visual yang seragam—tergantung budaya dan imajinasi masing-masing negara.
Namun semuanya berubah ketika Coca-Cola memutuskan untuk mengangkat sosok Santa sebagai bagian dari kampanye Natal mereka. Tahun 1931 menjadi titik balik ketika perusahaan ini menggandeng Haddon Sundblom, seorang seniman komersial asal Amerika berdarah Swedia, untuk menciptakan versi visual Santa Claus yang lebih bersahabat dan modern.
Baju Merah Bukan Kebetulan: Ini Soal Branding
Salah satu keputusan terpenting dalam desain Santa versi Coca-Cola adalah warna bajunya—merah cerah yang identik dengan brand Coca-Cola sendiri. Warna ini bukan sembarangan, melainkan dipilih untuk menyatu dengan identitas visual Coca-Cola yang sejak awal telah menggunakan warna merah sebagai palet utamanya.
Lewat ilustrasi Sundblom, Santa tampil sebagai pria tua bertubuh besar, wajah ceria, pipi merona, dan tentu saja perut buncit yang seolah selalu siap duduk santai sambil menenggak sebotol Coca-Cola dingin. Visual ini sukses besar dan langsung melekat dalam ingatan publik.
Bukan Sekadar Iklan: Santa Jadi Ikon Budaya Pop
Yang bikin unik, Coca-Cola tak hanya menjadikan Santa sebagai alat promosi produk, tapi juga menyisipkan narasi hangat, penuh nostalgia, dan nilai kebersamaan. Dalam iklan-iklan tersebut, Santa terlihat menyenangkan anak-anak, membaca surat permintaan kado, atau mencuri waktu untuk minum Coca-Cola setelah seharian mengantar hadiah.
Hasilnya? Santa versi Coca-Cola menjadi standar visual yang diterima global. Dari Amerika sampai Indonesia, gambaran Santa Claus selalu mengacu pada desain buatan Sundblom—menjadikannya sebagai salah satu contoh paling sukses dalam sejarah brand storytelling.
Baca Juga:
- Panji Tengkorak Bangkit! Adaptasi Komik Legendaris Ini Hadir dalam Wujud Animasi
- Destinasi Serbaguna Tepi Pantai Nusa Dua: Dari Kuliner, Meeting, hingga Festival Musik
- ‘Karate Kid: Legends’ Hadirkan Jackie Chan dan Generasi Baru, Ben Wang Siap Jadi Penerus
Siapa Sebenarnya Haddon Sundblom?
Haddon Sundblom (1899–1976) adalah ilustrator yang bekerja untuk berbagai merek besar di masanya. Tapi perannya dalam membentuk citra Santa Claus membuatnya abadi di dunia periklanan. Karya pertamanya untuk Coca-Cola muncul pada tahun 1931 dan terus berlanjut selama lebih dari tiga dekade, hingga 1964.
Inspirasi awalnya untuk wajah Santa diambil dari teman sekaligus tetangganya, Lou Prentiss, seorang pensiunan salesman. Setelah Prentiss wafat, Sundblom mulai menggunakan cermin dan menggambar dirinya sendiri sebagai model—menambahkan unsur personal dalam setiap karyanya.
Coca-Cola dan Keabadian Santa
Kampanye Santa Coca-Cola terus berevolusi, tapi esensi visualnya tetap tak berubah. Setiap Natal, Coca-Cola selalu berhasil menghidupkan kembali sosok Santa dengan semangat kebahagiaan, kehangatan, dan sedikit sentuhan magis. Dan meski sudah nyaris satu abad berlalu, citra ini tetap jadi standar ikonik.
Menariknya, banyak orang percaya bahwa Santa Claus memang selalu tampil seperti itu sejak dulu, padahal tidak. Inilah kekuatan branding yang benar-benar bekerja—ketika publik tidak hanya mengingat visual, tapi mempercayainya sebagai fakta budaya.
Pelajaran untuk Urbie’s: Branding Hebat Tak Cuma Jual Produk, Tapi Menciptakan Ikon
Coca-Cola tidak hanya menjual minuman bersoda. Mereka menjual momen, kenangan, dan bahkan mitologi baru yang kini menjadi bagian dari budaya global. Santa Claus versi Coca-Cola membuktikan bahwa visual branding yang kuat dan konsisten bisa mengubah persepsi dunia.
Buat Urbie’s yang sedang membangun brand, belajarlah dari Coca-Cola:
- Pahami kekuatan simbol visual
- Gunakan emosi dalam storytelling
- Konsisten dalam narasi dan warna
- Ciptakan karakter yang bisa hidup dalam benak publik
Siapa tahu, karakter brand kamu berikutnya bisa jadi ikon dunia?



















































