Hi Urbie’s! Brand fashion mewah asal Italia, Prada, tengah jadi bahan perbincangan hangat setelah meluncurkan koleksi sandal terbarunya di ajang Milan Fashion Week pekan lalu. Sandal tersebut tampil dengan desain terbuka dan pola anyaman khas yang langsung memicu reaksi dari publik India karena kemiripannya dengan Kolhapuri chappals, sandal tradisional asal India yang telah menjadi bagian dari warisan budaya lokal selama ratusan tahun.
Awalnya, Prada hanya menyebut alas kaki tersebut sebagai “leather footwear” tanpa menyebutkan referensi budaya dari mana desain itu berasal. Hal ini memicu tudingan serius soal cultural appropriation—atau pengambilan elemen budaya tanpa memberikan kredit yang layak, terutama dari budaya yang sering kali termarginalkan.
Ketika Warisan Budaya Diambil Tanpa Pengakuan
Kolhapuri sandals dikenal luas sebagai produk kerajinan tangan dari para pengrajin lokal di daerah Kolhapur, Maharashtra, dan sebagian wilayah Karnataka, India. Dibuat dengan teknik tradisional dari kulit asli, sandal ini bukan sekadar alas kaki, melainkan bagian dari identitas budaya masyarakat lokal.
Pernyataan Prada yang tidak menyebutkan asal-usul desain itu memicu kemarahan di media sosial dan komunitas seni kriya India. Salah satu pengrajin, Prabha Satpute, menyuarakan kekecewaannya dengan berkata, “Sandal ini dibuat dengan kerja keras para pengrajin kulit di Kolhapur. Harusnya dinamakan Kolhapuri. Jangan ambil keuntungan dari kerja keras orang lain.”
Prada Akhirnya Buka Suara Mengenai Kolhapuri
Melihat gelombang kritik yang semakin meluas, Prada akhirnya merilis pernyataan resmi kepada BBC. Dalam pernyataan tersebut, Prada mengakui bahwa desain sandal mereka memang terinspirasi dari alas kaki tradisional India. Walau begitu, pernyataan ini muncul setelah tekanan publik yang cukup intens—dan bagi sebagian orang, hal itu tetap terasa terlambat.
Langkah Prada untuk mengakui sumber inspirasinya dianggap sebagai bentuk damage control yang terlalu reaktif. Banyak aktivis budaya dan pegiat industri fashion lokal merasa bahwa brand besar seperti Prada semestinya memiliki tanggung jawab untuk menghormati dan mencantumkan sumber budaya secara transparan sejak awal, terutama saat mengambil inspirasi dari budaya non-Barat.
Baca Juga:
- Kamila Andini Resmi Gabung Academy Awards, Perempuan Indonesia Pertama di Daftar Bergengsi Ini!
- Lelah Doomscrolling? Yuk, Coba Jalan Kaki! Ini Alasannya Amygdala di Otakmu Bakal Berterima Kasih
- Swiss-Belexpress Kuta Kenalkan Cita Rasa Nusantara Lewat Cooking Class
Cultural Appropriation vs. Cultural Appreciation
Kontroversi ini kembali membuka diskusi lama dalam dunia fashion: apa perbedaan antara cultural appreciation dan cultural appropriation? Mengambil inspirasi dari budaya lain bukanlah sesuatu yang salah—bahkan bisa menjadi bentuk penghargaan—selama dilakukan dengan penghormatan, kolaborasi, dan pengakuan yang tepat.
Yang menjadi masalah dalam kasus Prada adalah kurangnya transparansi sejak awal. Di tengah derasnya arus globalisasi, publik kini semakin sadar akan pentingnya hak cipta budaya dan keadilan dalam representasi. Terlebih, bagi komunitas seperti pengrajin Kolhapur, pengakuan bukan hanya soal gengsi—tapi juga menyangkut ekonomi, eksistensi, dan keberlanjutan warisan leluhur mereka.
Momentum Bagi Desainer Lokal India Kolhapuri untuk Bersinar
Kasus ini secara tidak langsung menyadarkan dunia akan kekayaan budaya India—dan Asia secara umum—yang kerap menjadi inspirasi industri mode global. Urbie’s, kita bisa menarik pelajaran penting dari sini: betapa pentingnya mendukung dan mengangkat karya-karya pengrajin lokal.
Di Indonesia sendiri, kita memiliki begitu banyak warisan fesyen seperti tenun, batik, hingga sulam tangan yang sering kali belum mendapatkan tempat selayaknya di panggung dunia. Momen seperti ini semestinya menjadi dorongan bagi kita semua untuk lebih menghargai karya lokal dan mendorong industri kreatif kita ke level internasional—dengan tetap menjaga akar budaya kita sendiri.
Jadi, Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Sebagai konsumen muda dan melek tren, kamu bisa ambil bagian dalam mengubah wajah industri fashion global dengan memilih brand yang menghargai transparansi dan keberlanjutan budaya. Mendukung karya lokal bukan cuma soal gaya, tapi juga aksi nyata untuk memastikan bahwa pengrajin dan budaya kita tetap hidup dan dihormati.
Dan tentu saja, jangan lupa untuk speak up ketika kamu melihat praktik budaya yang tidak etis—karena perubahan besar selalu dimulai dari suara-suara kecil yang berani.