Setelah sukses dengan Shaitaan di awal 2024, industri film Bollywood mencoba membangun semesta horor mitologis lewat spinoff bertajuk Maa. Film ini memasang Kajol sebagai bintang utama dalam peran yang belum pernah ia mainkan sebelumnya: seorang ibu yang berubah menjadi dewi pemusnah untuk melindungi putrinya dari iblis. Premisnya terdengar menggoda, apalagi dikaitkan dengan legenda Kali dan Raktbeej. Namun sayangnya, alih-alih menjadi sajian horor penuh aksi dan spiritualitas, Maa justru terjebak dalam naskah yang dangkal dan eksekusi yang kurang menggigit.
Disutradarai oleh Vishal Furia dan ditulis oleh Saiwyn Quadras, Maa berdurasi 2 jam 15 menit dan memperkenalkan karakter Ambika (Kajol), seorang ibu tunggal yang tinggal bersama putrinya, Shweta, di sebuah desa terpencil bernama Chandanpur dekat Kolkata. Ketika iblis bernama Doito memburu anaknya, Ambika terpaksa mengaktifkan sisi gelap dirinya—berubah menjadi sosok dewi pemberang, mengingatkan kita pada Durga atau Kali yang ikonik dalam mitologi Hindu. Sayangnya, dari semua kekuatan mitologi yang diangkat, film ini tetap gagal menakutkan.
Kajol, dengan kemampuan akting yang tidak diragukan lagi, menjadi satu-satunya elemen yang menyelamatkan film ini dari kehampaan total. Ia tampil garang, kuat, dan emosional, memperlihatkan sisi berbeda dari peran-peran sebelumnya yang lebih lembut. Tapi bahkan kekuatan bintangnya tak cukup untuk menambal lubang besar dalam struktur cerita yang lambat dan terlalu banyak basa-basi.
Dari segi konsep, Maa sebenarnya punya potensi. Mengangkat mitos Raktbeej—iblis yang setiap tetes darahnya bisa melahirkan tiruan dirinya—bisa jadi landasan cerita yang sangat menegangkan. Tapi cerita yang berjalan berliku tanpa arah yang jelas, keputusan-keputusan karakter yang tidak logis (kenapa harus membawa anak ke tempat berhantu?), serta penggunaan mitologi hanya sebatas gimmick visual, membuat cerita kehilangan esensinya.
Baca Juga
- Kolaborasi Manis! Oreo x Selena Gomez Hadirkan Rasa Horchata Cinnamon yang Bisa Nyanyi!
- Hot But Make It Mysterious: Kenapa Sex Appeal Jadi Magnet di Era Digital?
- Peneliti Ungkap Jamur Kuno ‘Aspergillus flavus’ Yang Tumbuh di Makam Tutankhamun Punya Potensi Obati Leukimia
Villain utama, Doito, adalah kegagalan fatal lainnya. Iblis pohon ini tak lebih menyeramkan dari Groot yang sedang bad mood. Tanpa kepribadian yang kuat, tanpa motivasi yang membekas, dan dialog klise seperti “Hatimu hitam, kau bisa berguna bagiku” membuatnya sulit dipercaya sebagai ancaman. Tidak seperti Shaitaan, yang menampilkan R. Madhavan sebagai iblis karismatik dengan aura mencekam, Maa kehilangan momentum dan menegangkan.
Visual efek dan scoring memang cukup niat, tapi tidak cukup untuk menciptakan atmosfer yang menyeramkan. Beberapa elemen film seperti ritual Kali Puja, Rajbari (rumah besar khas Bengali), hingga pengorbanan manusia memang hadir, tapi semuanya terasa seperti dekorasi semata. Bahkan latar desa dan hutan yang seharusnya menyeramkan tampak terlalu dibuat-buat dan artifisial.
Tentu saja, Maa bukan film horor yang harus dilihat dengan kacamata logika semata. Tapi ketika ketegangan tidak terbangun dan karakter membuat keputusan yang tak masuk akal, maka penonton sulit untuk tetap peduli. Akhir film pun tak mampu memberikan klimaks yang memuaskan, meskipun ada beberapa percikan visual yang menarik dan referensi gaya dari film sebelumnya, Shaitaan.
Jika Shaitaan adalah pembuka yang menjanjikan untuk semesta horor mitologi India, maka Maa terasa seperti langkah mundur. Meski ingin memperlihatkan betapa kuat dan sakralnya cinta seorang ibu, film ini gagal menggali lebih dalam secara emosional maupun tematik. Yang tersisa hanya Kajol, sang ibu yang menendang pantat iblis—tapi dalam dunia yang tak cukup mengancam untuk ditendang.



















































