Hi Urbie’s! Tepat pada tanggal 3 Agustus 2025 lalu, momen penuh haru dan makna terjadi di Hiroshima. Di tengah siluet bangunan ikonik Atomic Bomb Dome yang menyimpan luka sejarah dunia, seorang musisi legendaris Jepang, Sugizo, mengirimkan pesan perdamaian yang menggetarkan jiwa lewat dentingan piano dan gesekan biola.
Namun, ini bukan sekadar pertunjukan musik. Acara bertajuk “Pray for Peace Collection 2025 in Hiroshima – Peaceful Thousand Paper Cranes Fashion Show” menjadi simbol harapan dan penolakan atas kekerasan, kebencian, serta perang. Di tengah hiruk pikuk dunia yang kian panas, pesan dari Hiroshima menjadi pengingat bahwa damai bukan sekadar pilihan, tapi keharusan.
Bulan Agustus menjadi bulan reflektif bagi Jepang, dunia, dan kemanusiaan. Delapan puluh tahun sejak bom atom menghancurkan Hiroshima dan Nagasaki, luka itu belum sepenuhnya sembuh. Namun dari luka, lahirlah tekad. Dan dari tekad, lahirlah aksi. Sugizo membuktikan bahwa musik bukan hanya hiburan, melainkan medium spiritual untuk menyuarakan nurani dan menyatukan manusia lintas usia.
Performanya di panggung itu tidak sendirian—anak-anak turut serta dalam momen ini. Mereka bukan sekadar pengisi acara, tapi simbol generasi masa depan yang harus mewarisi dunia yang lebih baik dari generasi sebelumnya.
“Di saat Asia dan dunia berada dalam titik paling tegang sejak Perang Dunia II, kita justru harus memilih jalan damai, bukan kekerasan,” ujar Sugizo dalam refleksinya pasca-pertunjukan.
Pernyataan ini muncul sebagai respons atas fenomena mengkhawatirkan: meningkatnya pembenaran atas kepemilikan senjata nuklir di berbagai belahan dunia. Bagi Sugizo, Jepang—negara yang pernah menjadi korban senjata nuklir—memiliki moralitas dan tanggung jawab historis untuk menolak segala bentuk justifikasi terhadap nuklir.
Pertanyaannya sederhana namun menampar: Bagaimana bisa seseorang masih percaya bahwa senjata nuklir adalah solusi setelah melihat penderitaan Hiroshima dan Nagasaki?
Baca Juga:
- Roblox Dianggap Berbahaya Bagi Anak SD, Ini Penjelasan Mendikdasmen!
- Kolaborasi Pokémon dan PSSI: Saat Dunia Bola Ketemu Pikachu!
- Rahasia Rambut Lembut dan Mudah Diatur ala Perempuan Jepang
Sugizo tidak sekadar meratapi situasi dunia. Ia menyerukan ajakan. Ajakan untuk melawan kebencian dengan cinta. Melawan kekuasaan militer dengan keberanian memilih jalur tanpa kekerasan.
“Kita tidak boleh tergoda oleh narasi para pemimpin haus perang. Kita tidak boleh larut dalam kebencian. Kita adalah mayoritas. 99,9% umat manusia tidak menginginkan perang. Mari bersatu dan mewujudkan dunia yang penuh damai dan senyum anak-anak,” tulis Sugizo dalam surat terbukanya.
Bagi generasi muda, terutama Urbie’s yang mungkin belum pernah mencicipi pahitnya konflik global secara langsung, peristiwa ini adalah panggilan untuk sadar. Bahwa perdamaian bukan warisan yang otomatis datang, tapi hasil dari upaya kolektif.
Sugizo, dengan suara biola dan kata-kata damainya, menunjukkan bahwa kita semua bisa menjadi agen perubahan. Entah lewat musik, fesyen, media sosial, atau sekadar memperlakukan sesama dengan cinta dan rasa hormat.
Hiroshima tahun 2025 mungkin jauh dari ledakan 80 tahun lalu. Tapi gema peristiwanya tetap terasa. Dan dari sanalah, semangat untuk tidak mengulang sejarah berdarah itu terus dihidupkan.
Dari Hiroshima untuk dunia, dan dari Jepang dengan cinta.
Semoga pesan damai ini sampai ke setiap telinga yang bersedia mendengar, dan setiap hati yang siap bertindak.