Hi Urbie’s! Satu dekade lebih sejak karakter ikonik Red Sonja terakhir kali muncul di layar, kini kembali dengan versi yang lebih kelam, lebih brutal, dan jauh lebih berani. Red Sonja (2025) bukan hanya sekadar film fantasi—ini adalah pernyataan bahwa karakter perempuan tangguh pantas berdiri sejajar (bahkan melampaui) pahlawan pria dalam genre sword and sorcery. Penuh aksi maut, pertarungan berdarah, dan jiwa pemberontakan, Red Sonja siap mengguncang bioskop tahun ini.
Sinopsis
Di dunia yang penuh kekacauan dan kekuasaan yang disalahgunakan, Red Sonja adalah simbol harapan—dan dendam. Diperbudak oleh tiran brutal bernama Dragan The Magnificent, yang ingin memusnahkan rakyatnya demi kekuasaan, Sonja tak punya pilihan selain melawan.
Namun Dragan bukan satu-satunya ancaman. Ada sosok Dark Annisia, ajudan setia Dragan, yang tidak hanya berbahaya secara fisik tapi juga memiliki hubungan kelam dengan masa lalu Sonja.
Dengan tekad baja dan pedang di tangan, Sonja mulai membentuk aliansi dengan para prajurit pemberani dari berbagai penjuru. Mereka tidak hanya harus bertarung melawan pasukan Dragan, tapi juga menghadapi monster, sihir, pengkhianatan, dan trauma pribadi.
Film berdurasi 110 menit ini membawa penonton menyelami perjalanan epik Red Sonja: dari seorang budak menjadi simbol revolusi.

Review
Red Sonja 2025, disutradarai oleh M.J. Bassett, menawarkan pengalaman sinematik yang penuh energi, visual, dan karakter yang berlapis.
Matilda Anna Ingrid Lutz benar-benar menghidupkan karakter Red Sonja dengan performa yang menggabungkan kekuatan fisik dan kerentanan emosional. Ia tidak hanya lihai memainkan adegan laga, tapi juga berhasil menunjukkan sisi rapuh Sonja yang dipenuhi luka masa lalu.
Martyn Ford sebagai Dragan sukses memerankan tiran dengan aura intimidatif, sementara Wallis Day sebagai Dark Annisia mencuri perhatian lewat karakternya yang kompleks—antara musuh dan cermin masa lalu Sonja.

Aksi dan Visual:
Film ini tidak tanggung-tanggung dalam menampilkan aksi. Pertarungan brutal, duel pedang, dan ledakan emosi dikemas dengan koreografi yang presisi dan sinematografi yang sinematik. Atmosfer dunia fantasi kelam berhasil dibangun secara konsisten, mulai dari kastil tirani hingga medan pertempuran berdarah.
Cerita dan Pace:
Walau pada pertengahan film sempat terasa sedikit lambat, alur cepat kembali mendominasi saat menjelang akhir. Kisah personal Sonja tidak dikorbankan demi aksi semata—dan ini membuat penonton benar-benar peduli pada perjuangannya.

Film ini diklasifikasikan untuk penonton 17 tahun ke atas karena banyak adegan kekerasan, darah, dan tema gelap. Bukan tontonan untuk keluarga, tapi sangat cocok bagi pecinta aksi-fantasi serius.
Red Sonja (2025) adalah kebangkitan dari ikon lama dengan kemasan baru. Ia bukan sekadar perempuan yang bisa bertarung—ia adalah pemimpin, pemberontak, dan penyintas. Film ini menjadi bukti bahwa narasi pahlawan tak harus selalu datang dari sosok pria.



















































