Hi Urbie’s!
Kain tenun bukan sekadar kain penutup tubuh. Ia adalah warisan, doa, dan cerita yang terjalin dalam setiap helai benang. Begitulah makna yang tersampaikan dalam momen bersejarah ketika Global Environment Facility Small Grants Programme (GEF SGP) Indonesia mendonasikan kain tenun Kajang dari Bulukumba, Sulawesi Selatan, kepada Indonesia House Amsterdam. Donasi ini bukan hanya sebuah simbol, tapi juga bagian dari diplomasi budaya yang bernilai tinggi, bahkan jika dihitung secara nilai koleksi, kain ini bisa disejajarkan dengan karya seni bernilai jutaan rupiah.
Acara ini berlangsung pada Selasa, 2 September 2026, dengan kehangatan yang terasa kental. Sidi Rana Menggala selaku Koordinator Sekretariat Nasional GEF SGP Indonesia menyerahkan kain tenun Kajang langsung kepada Ine Waworuntu, pendiri Hibiscus Foundation, di jantung kota Amsterdam. Menurut Sidi, kehormatan besar bagi GEF SGP Indonesia bisa membawa karya megah masyarakat adat hingga ke panggung global.
“Kami bangga mendonasikan kain tenun hasil karya masyarakat adat Kajang. Ini bukan sekadar kain, tapi simbol filosofi hidup, hubungan spiritual dengan alam, serta doa yang diwariskan lintas generasi,” ujar Sidi.
Filosofi Hidup “Kamase-masea”
Bagi masyarakat adat Kajang Ammatoa, menenun bukan pekerjaan biasa. Prosesnya penuh doa, dengan bahan alami dari alam sekitar. Motif dan warna hitam yang khas melambangkan kesederhanaan, persamaan, serta kekuatan. Semua itu berpijak pada filosofi hidup “Kamase-masea”, yang berarti hidup sederhana, secukupnya, bahkan “miskin” di dunia demi mencapai kekayaan batin dan kebahagiaan di akhirat.
Kain ini pun jadi simbol perlawanan terhadap gaya hidup serba instan, mengingatkan kita bahwa harmoni dengan alam adalah kunci keberlanjutan. Proses pewarnaannya menggunakan daun tarum atau indigo, kapur, hingga abu kayu, dan disempurnakan dengan teknik tradisional garrusu—menggosok kain dengan cangkang keong hingga berkilau. Nilai budaya dan spiritualnya menjadikan kain tenun Kajang tak ternilai harganya, meski bila diukur sebagai karya seni, bisa mencapai puluhan juta rupiah.

Diplomasi Budaya di Amsterdam
Donasi kain Kajang ini bertepatan dengan pameran “Women and Weaves: Eastern Indonesia Textile Prelude” yang digelar di lantai dua Indonesia House Amsterdam. Acara ini hasil kerja sama antara KBRI Belanda dan Yayasan Kembang Sepatu yang dipimpin oleh Ine Waworuntu.
Ine menekankan pentingnya mengenalkan tenun kepada masyarakat Belanda. Sebab, selama ini batik lebih dikenal, sementara banyak yang bahkan keliru menyebut tenun sebagai batik. “Masyarakat Belanda perlu tahu bahwa tenun adalah karya seni berharga, bukan sekadar tekstil biasa. Dengan pameran ini, kami ingin memperkenalkan kisah dan identitas para penenun Indonesia,” tutur Ine.
Kecintaan Ine terhadap tenun sudah mendarah daging. Tinggal di Belanda tak menghalanginya mengenakan tenun dalam keseharian, baik musim panas maupun dingin. Menurutnya, tenun adalah “selimut Nusantara” yang memberikan kehangatan, sekaligus menjadi identitas budaya yang melekat ke mana pun ia pergi. Tak jarang, orang Belanda bertanya tentang kain yang ia kenakan, dan dari situlah percakapan tentang Indonesia dimulai.
Baca Juga:
- Maya, Remaja Difabel dari Temanggung yang Menemukan Harapan Lewat Kopi Robusta
- Oguri Shun & Han Hyo Joo Main di Drama Netflix Anonymous Lovers, Kim Chaewon LE SSERAFIM Isi Lagu Tema “Confession”
- Motivation Pen, Alat Tulis Pintar dari Jepang yang Ubah Belajar Jadi Game Seru
Misi Global untuk Warisan Lokal
Sidi menegaskan bahwa donasi kain Kajang ini adalah bagian dari strategi GEF SGP Indonesia untuk membawa kearifan lokal ke kancah internasional. Misinya jelas: memperkenalkan warisan budaya, mendukung mata pencaharian komunitas adat, dan membuka akses pasar baru untuk para penenun. Dengan begitu, mereka bisa mendapatkan manfaat ekonomi yang berkelanjutan.
“Kekayaan sejati bangsa terletak pada warisan budaya dan alamnya. Dengan membawa tenun Kajang ke Amsterdam, kami berharap tercipta kolaborasi global yang menghormati kearifan lokal,” kata Sidi.
Bagi Ine Waworuntu sendiri, donasi ini bukan sekadar kain, melainkan pengingat pentingnya membimbing penenun agar mandiri secara sosial, budaya, dan ekonomi. “Terima kasih kepada GEF SGP Indonesia yang telah memperjuangkan pelestarian karya-karya kriya bangsa. Semoga penenun kita semakin dikenal dunia dan mandiri ke depannya,” pungkas Ine.
Warisan yang Mendunia
Urbie’s, donasi kain tenun Kajang ke Indonesia House Amsterdam ini bukan hanya langkah simbolis, melainkan bukti nyata bahwa budaya lokal Indonesia memiliki daya saing global. Setiap helai benang adalah doa, setiap corak adalah cerita, dan setiap warna adalah identitas. Dengan cara ini, kita tidak hanya menjaga warisan leluhur, tapi juga membuka peluang bagi masa depan yang lebih berkelanjutan.