Home Health Fenomena Photo Hoarding: Saat Koleksi Foto Digital Berlebihan Jadi Gangguan Serius

Fenomena Photo Hoarding: Saat Koleksi Foto Digital Berlebihan Jadi Gangguan Serius

444
0
Fenomena Photo Hoarding: Saat Koleksi Foto Digital Berlebihan Jadi Gangguan Serius
Foto Ilustrasi: Freepik
Urbanvibes

Hi Urbie’s!
Pernahkah kamu membuka galeri smartphone dan kaget melihat ribuan bahkan puluhan ribu foto yang menumpuk tanpa pernah tersentuh lagi? Dari selfie random, foto makanan, pemandangan, hingga screenshot yang entah kapan akan dibuka lagi, semuanya bercampur menjadi arsip digital pribadi. Nah, fenomena inilah yang kini dikenal dengan istilah photo hoarding, sebuah perilaku menimbun foto digital secara berlebihan yang diam-diam mulai menjadi perhatian para peneliti dan praktisi kesehatan mental.

Sebuah penelitian terbaru dari Bozhou University, Tiongkok (2025) mengungkap bahwa perilaku ini bukan sekadar kebiasaan “malas hapus foto.” Ada faktor psikologis yang jauh lebih dalam. Studi terhadap 294 mahasiswa menunjukkan bahwa photo hoarding didorong oleh ikatan emosional terhadap foto, rasa takut kehilangan momen (fear of missing out atau FoMO), tekanan sosial, hingga tuntutan kehidupan modern. Bahkan, kemajuan teknologi penyimpanan dengan kapasitas besar justru membuat orang makin betah menimbun ribuan foto tanpa rasa bersalah.

Yang menarik, faktor emosional dan FoMO berperan penting sebagai “mediator” yang membuat seseorang sulit menghapus foto. Meski foto itu sudah tidak relevan lagi, ada semacam bisikan di kepala yang berkata, “Siapa tahu nanti butuh.” Akhirnya, galeri penuh sesak, memori perangkat menjerit, tapi tangan tetap ragu menekan tombol delete.

Melihat fenomena ini, Kırıkkale University, Turki mengembangkan sebuah instrumen khusus bernama Digital Photograph Hoarding Scale (DPHS). Skala ini digunakan untuk menilai tingkat akumulasi foto, kekacauan digital, kegagalan membuang, hingga dorongan kompulsif mengambil foto baru. DPHS terbukti valid dan reliabel, sehingga menjadi alat penting bagi para peneliti maupun psikolog untuk memahami lebih jauh kecenderungan photo hoarding di era smartphone.

Baca Juga:

Secara klinis, photo hoarding memang belum masuk ke kategori resmi dalam DSM-5 (manual diagnosis gangguan mental internasional). Namun, literatur medis mulai menganggapnya sebagai subtipe dari hoarding disorder, yaitu gangguan menimbun yang biasanya dikaitkan dengan barang fisik. Bedanya, kali ini barang yang ditimbun bukanlah benda nyata, melainkan jejak digital yang terus bertambah setiap harinya.

Nah, kalau kamu merasa relate dengan fenomena ini, jangan khawatir, Urbie’s. Ada beberapa cara yang bisa kamu lakukan untuk mengatasinya. Pertama, coba tetapkan rutinitas digital decluttering, misalnya seminggu sekali meluangkan waktu 10–15 menit untuk menghapus foto yang jelas tidak penting. Kedua, manfaatkan fitur cloud storage dengan sistem pengelompokan otomatis agar foto yang benar-benar penting lebih mudah ditemukan. Ketiga, gunakan prinsip “satu masuk, satu keluar”—setiap kali mengambil foto baru, coba hapus satu foto lama yang sudah tidak relevan. Keempat, belajar melepaskan ikatan emosional dengan menyadari bahwa kenangan tidak selalu bergantung pada foto, melainkan pada pengalaman yang tersimpan dalam ingatan. Dan terakhir, jika kecenderungan ini terasa mengganggu keseharian atau membuat cemas berlebihan, jangan ragu untuk berkonsultasi dengan psikolog agar mendapatkan pendampingan profesional.

Fenomena photo hoarding adalah cerminan bagaimana hidup kita makin erat dengan dunia digital. Di satu sisi, foto bisa menjadi medium berharga untuk menyimpan memori. Namun, jika tidak dikelola dengan bijak, justru bisa berbalik menjadi beban yang membuat kita sulit fokus pada momen saat ini. Jadi, yuk mulai selektif dalam menyimpan foto agar galeri lebih rapi, pikiran lebih lega, dan hidup terasa ringan!

Novotel Gajah Mada

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here