Home News ISRF 2025: Inovasi, Investasi, dan Insentif Demi Masa Depan Beras Berkelanjutan

ISRF 2025: Inovasi, Investasi, dan Insentif Demi Masa Depan Beras Berkelanjutan

38
0
ISRF 2025: Inovasi, Investasi, dan Insentif Demi Masa Depan Beras Berkelanjutan
Seremoni pembukaan acara International Sustainable Rice Forum (ISRF) 2025 di Discovery Ancol, Jakarta Utara, Senin (17/11/2025). Foto: istimewa
Urbanvibes

Hi Urbie’s! Panggung International Sustainable Rice Forum (ISRF) 2025 kembali menjadi pusat perhatian dunia ketika isu keberlanjutan pangan—khususnya komoditas beras—dibahas secara mendalam dalam sesi pleno kedua. Bertempat di Discovery Ancol, Jakarta Utara, forum ini menegaskan bahwa masa depan pangan global menuntut perubahan besar yang hanya bisa lahir dari kolaborasi, inovasi, dan investasi lintas sektor. Dengan tema “Pendorong Perubahan: Memobilisasi Pasar, Keuangan Karbon, Donor, dan Pemerintah untuk Mempercepat Keberlanjutan Beras,” sesi ini menghadirkan para pemimpin dan pakar global untuk merumuskan solusi strategis bagi salah satu komoditas terpenting di dunia.

Sesi dimulai dengan paparan tajam dari Alan Johnson, Senior Operations Officer IFC sekaligus Ketua Dewan Direksi Sustainable Rice Platform (SRP). Dalam paparannya, Johnson menyoroti ironi besar sektor perberasan global: teknologi untuk praktik pertanian berkelanjutan seperti Alternate Wetting and Drying (AWD) dan benih tahan penyakit sebenarnya telah tersedia selama lebih dari dua dekade, tetapi tingkat adopsinya masih sangat rendah. Hanya 5–6 persen dari total produksi beras dunia yang dapat dikategorikan berkelanjutan. Padahal, komoditas ini menyangkut keamanan pangan miliaran orang, kehidupan jutaan petani, hingga kontribusi signifikan terhadap emisi dan penggunaan air.

Setelah sesi pembuka, diskusi panel menghadirkan empat pemikir kunci:
Sidi Rana Menggala (Koordinator Nasional GEF SGP Indonesia), Anoushka Harris (Sustainability Manager Associated British Foods), Senthilkumar Kalimuthu (Program Leader Africa Rice), dan Arjumand Nizami (Pakistan Country Director Helvetas). Masing-masing membawa perspektif berbeda, tetapi satu pesan sama-sama menggema: transformasi sektor beras membutuhkan dukungan menyeluruh dari hulu ke hilir.

Koordinator Nasional GEF SGP Indonesia Sidi Rana Menggala saat berbicara dalam sesi panel acara International Sustainable Rice Forum (ISRF) 2025 di Discovery Ancol, Jakarta Utara, Senin (17/11/2025). Foto: istimewa

Sidi Rana Menggala menguraikan perjalanan panjang GEF SGP Indonesia dalam mendukung aksi lokal sejak 1997. Program mereka telah membantu 86 kelompok masyarakat melalui pendanaan hibah antara USD 10.000 hingga USD 50.000. Tidak hanya soal pendanaan, Sidi juga menekankan bahwa perubahan perilaku petani menjadi tantangan terbesar. Mereka cenderung menghindari risiko, sehingga penting untuk menjembatani komunikasi, terutama terkait inisiatif pasar karbon. Salah satu inisiatif yang menarik adalah program pengembangan padi berkelanjutan di Sulawesi Selatan yang melibatkan lebih dari 200 petani. Inisiatif ini telah membentuk lingkar belajar di 15 desa, meningkatkan penggunaan pupuk organik, serta memperkuat hubungan komunitas.

Dari perspektif perusahaan global, Anoushka Harris menekankan pentingnya standar SRP sebagai alat komunikasi antara industri dan konsumen. Ia menyebut bahwa dalam konteks pasar Inggris, narasi keberlanjutan lebih mudah diterima konsumen apabila dikaitkan dengan kesehatan dan nutrisi ketimbang klaim teknis seperti penghematan air.

Baca Juga:

Sementara itu, Senthilkumar Kalimuthu menggambarkan kondisi beras di Afrika yang menarik perhatian dunia. Dari 48 juta ton beras yang dikonsumsi per tahun, sekitar 40 persennya masih diimpor dengan nilai fantastis: USD 8,2 miliar. Hal ini menunjukkan urgensi Afrika untuk langsung mengadopsi teknologi berkelanjutan tanpa melalui tahapan panjang seperti Asia. Namun, tantangan mereka tidak sederhana: infrastruktur terbatas, rantai nilai terputus, dan minimnya investasi.

Dari Pakistan, Arjumand Nizami menekankan bahwa ketergantungan pada premi harga bisa menimbulkan masalah jangka panjang. Menurutnya, insentif paling efektif justru bersumber dari efisiensi biaya produksi, peningkatan layanan penyuluhan, serta kepastian pasar. Strategi inilah yang akan membangun model bisnis berkelanjutan bagi petani.

Pada akhirnya, sesi pleno ini menegaskan bahwa masa depan beras berkelanjutan tidak hanya membutuhkan inovasi dan teknologi, tetapi juga komitmen lintas pemangku kepentingan. Kolaborasi publik-swasta, sistem standar yang kuat, dan pendekatan holistik diperlukan agar praktik berkelanjutan menjadi “normal baru” dalam produksi beras global.

Novotel Gajah Mada

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here