Hi Urbie’s!, dunia musik global kembali bergolak setelah Jaeson Ma, Co-Founder sekaligus otak kreatif di balik 88rising, melontarkan pernyataan keras soal arah industri musik saat ini. Dalam sebuah pernyataan yang cepat menyebar di media sosial dan forum kreatif, Jaeson secara gamblang menyebut bahwa industri musik telah “rusak”. Bukan karena kurangnya talenta, melainkan karena sistem yang terlalu tunduk pada algoritma.
Menurut Jaeson Ma, algoritma platform digital kini menjadi penentu utama siapa yang layak dilihat, didengar, dan dipromosikan. Musik tidak lagi sepenuhnya dinilai dari kualitas karya atau kedalaman artistik, melainkan dari seberapa besar potensi sebuah lagu untuk viral, menghasilkan klik, dan mempertahankan engagement. Pernyataan ini langsung memicu diskusi panjang, terutama di kalangan musisi independen dan pelaku industri kreatif.
Algoritma Lebih Berkuasa dari Bakat
Dalam pandangan Jaeson, algoritma telah menggeser peran kurator musik, produser, hingga penikmat musik itu sendiri. Lagu-lagu yang sesuai dengan pola algoritma—pendek, mudah dicerna, dan cepat memancing reaksi—lebih mudah naik ke permukaan. Sementara itu, musisi dengan pendekatan eksperimental atau visi artistik yang kuat sering kali harus berjuang ekstra hanya untuk sekadar muncul di feed pendengar.
Ia menyoroti bagaimana banyak individu berbakat justru terjebak dalam perlombaan angka. Jumlah streaming, views, likes, dan followers menjadi mata uang utama, mengalahkan diskusi tentang komposisi, lirik, atau kejujuran musikal. Dalam kondisi seperti ini, bakat bukan lagi pintu masuk utama, melainkan kemampuan menaklukkan sistem digital.
Jaeson Ma: Tekanan Besar bagi Musisi Baru
Urbie’s!, pernyataan Jaeson Ma ini terasa sangat relevan bagi generasi musisi baru. Banyak talenta muda yang merasa harus “menyesuaikan diri” demi algoritma. Lagu dipersingkat agar ramah platform, bagian reff ditempatkan di detik awal, dan identitas musik kerap dikompromikan demi peluang viral.
Jaeson menilai situasi ini menciptakan tekanan yang tidak sehat. Musisi dipaksa menjadi kreator konten penuh waktu, bukan hanya pencipta karya. Mereka harus aktif di berbagai platform, memahami tren, dan terus memproduksi konten agar tetap relevan. Dalam prosesnya, musik berisiko kehilangan kedalaman dan makna.
Jaeson Ma Paradoks Era Digital
Sebagai sosok yang sukses membangun 88rising di era digital, kritik Jaeson Ma justru terasa ironis namun penting. Label yang ia dirikan dikenal mampu mengangkat talenta Asia ke panggung global melalui strategi digital yang cerdas. Namun menurutnya, ada garis tipis antara memanfaatkan teknologi dan tunduk sepenuhnya pada algoritma.
Baca Juga:
- Bali Resmi Luncurkan Domain .bali! Identitas Domain Resmi Berikan Tingkat Kepercayaan
- 4 Langkah Trading Forex untuk Pemula Agar Nggak “Kaget Market”
- Melawan Seksualisasi Industri Musik, Adele Tegaskan Musiknya untuk Didengar
Ia menegaskan bahwa teknologi seharusnya menjadi alat, bukan penentu arah seni. Ketika algoritma terlalu dominan, industri kehilangan keberanian untuk mengambil risiko artistik. Akibatnya, banyak karya terdengar seragam, mengikuti formula yang sama demi aman di pasar.
Reaksi Pelaku Industri
Pernyataan Jaeson Ma memicu beragam respons. Sejumlah musisi dan produser menyatakan setuju, menganggap algoritma telah menciptakan “filter tak kasat mata” yang menyulitkan talenta murni untuk berkembang. Di sisi lain, ada pula yang menilai algoritma hanyalah cerminan selera pasar modern, dan musisi perlu beradaptasi tanpa kehilangan identitas.
Diskusi ini memperlihatkan ketegangan klasik antara seni dan industri. Di satu sisi, musik adalah ekspresi kreatif. Di sisi lain, ia tetap berada dalam ekosistem bisnis yang menuntut keberlanjutan finansial. Algoritma hadir sebagai solusi sekaligus masalah.
Mencari Jalan Tengah
Urbie’s!, lewat pernyataannya, Jaeson Ma tidak sekadar mengkritik, tetapi juga mengajak refleksi. Ia mendorong pelaku industri untuk kembali memberi ruang pada kualitas, keberanian bereksperimen, dan cerita personal musisi. Bagi Jaeson, musik yang bertahan lama bukanlah yang paling viral, melainkan yang paling jujur dan relevan secara emosional.
Ia juga menekankan pentingnya peran pendengar. Konsumen musik memiliki kekuatan besar untuk keluar dari lingkaran rekomendasi algoritma, mencari suara baru, dan mendukung musisi secara sadar. Tanpa perubahan dari sisi pendengar, sistem akan terus berjalan di jalur yang sama.
Masa Depan Industri Musik
Pernyataan Jaeson Ma menjadi pengingat bahwa di balik kemudahan akses dan peluang viral, ada tantangan besar yang mengintai esensi industri musik. Algoritma mungkin efisien, tetapi seni membutuhkan ruang untuk tumbuh tanpa selalu dihitung dengan angka.
Bagi Urbie’s! yang mengikuti perkembangan musik global, diskusi ini membuka pertanyaan penting: apakah kita masih mendengarkan musik karena cinta, atau karena disodorkan oleh sistem? Di tengah arus data dan statistik, suara-suara kritis seperti Jaeson Ma menjadi penyeimbang agar industri musik tidak kehilangan jiwanya sendiri.






















































