Hi Urbie’s, persoalan sampah selalu menjadi cerita panjang di kota-kota besar Indonesia. Gunungan sampah, bau menyengat, hingga dampak lingkungan dan kesehatan sudah lama menjadi wajah keseharian di sekitar Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang, Bekasi, Jawa Barat. Namun kini, angin perubahan mulai berembus. Pemerintah menargetkan sesuatu yang terdengar ambisius: sampah di Bantargebang akan hilang dalam dua tahun ke depan.
Target tersebut disampaikan langsung oleh Menteri Koordinator Bidang Pangan, Zulkifli Hasan (Zulhas). Ia optimistis persoalan kronis sampah bisa dituntaskan melalui pendekatan baru yang lebih modern, yakni pengolahan sampah menjadi energi listrik atau waste to energy (WTE). Program ini menjadi bagian dari proyek strategis Danantara, yang fokus pada investasi dan percepatan pembangunan sektor-sektor vital.
Bantargebang Menuju Titik Balik
Selama puluhan tahun, TPST Bantargebang dikenal sebagai “rumah terakhir” jutaan ton sampah dari Jakarta dan sekitarnya. Setiap hari, ribuan truk membuang sampah ke kawasan ini, menciptakan tumpukan yang kian meninggi dari tahun ke tahun. Kondisi tersebut bukan hanya menimbulkan masalah lingkungan, tetapi juga konflik sosial dengan warga sekitar.
Dalam pernyataannya, Zulhas menegaskan bahwa teknologi WTE akan menjadi game changer dalam pengelolaan sampah perkotaan. Ia bahkan menyebut, bukan hanya Bantargebang yang akan beres, tetapi kota-kota lain dengan masalah serupa juga ditargetkan tuntas dalam kurun waktu yang sama.
“Jadi Bantargebang itu Insyaallah dua tahun lagi nggak ada lagi, musnah. Dua tahun lagi Bandung. Kota dengan masalah sampah yang di mana-mana itu, dua tahun lagi tuntas,” ujar Zulhas, dikutip dari Antara, Selasa (16/12/2025).
Pernyataan ini langsung menarik perhatian publik, mengingat persoalan sampah kerap dianggap sebagai masalah yang sulit ditangani secara cepat.
Waste to Energy, Solusi atau Tantangan Baru?
Teknologi waste to energy bukan hal baru di dunia. Di sejumlah negara maju, sampah tak lagi dipandang sebagai limbah semata, melainkan sebagai sumber energi alternatif. Melalui proses pembakaran atau pengolahan tertentu, sampah dapat diubah menjadi listrik yang kemudian disalurkan ke jaringan energi nasional.
Menurut Zulhas, pendekatan inilah yang akan diterapkan secara serius di Indonesia. Dengan investasi yang tepat dan teknologi yang memadai, sampah yang selama ini menumpuk justru bisa memberi nilai tambah bagi negara.
“Pengolahan sampah melalui teknologi WTE akan menjadi solusi untuk mengatasi persoalan sampah perkotaan yang selama ini menumpuk di sejumlah daerah,” jelasnya.
Bagi Urbie’s, wacana ini terdengar menjanjikan. Selain mengurangi volume sampah secara signifikan, WTE juga berpotensi membantu pemenuhan kebutuhan energi, sekaligus mengurangi ketergantungan pada sumber energi fosil.
Baca Juga:
- Rizki Juniansyah Pecahkan Rekor Dunia, Indonesia Terus Menanjak di Klasemen Medali SEA Games 2025
- Inilah Tips Wisata ke Pulau Seribu Saat Musim Hujan untuk Pemula
- Daftar Orang Terkaya Indonesia 2025 Versi Forbes, Hartono Bersaudara Masih Tak Tergoyahkan!
Peran Danantara dalam Proyek Strategis Bantargebang
Proyek WTE ini akan dijalankan melalui skema investasi strategis oleh Danantara. Kehadiran Danantara diharapkan mampu menjembatani kebutuhan pendanaan, teknologi, serta kerja sama lintas sektor—baik dengan swasta nasional maupun mitra internasional.
Pemerintah menilai bahwa persoalan sampah tak bisa lagi ditangani dengan cara konvensional seperti landfill semata. Dibutuhkan pendekatan industrial dan berkelanjutan agar masalah ini benar-benar selesai, bukan sekadar dipindahkan dari satu titik ke titik lain.
Jika proyek ini berjalan sesuai rencana, TPST Bantargebang bukan lagi simbol krisis sampah, melainkan contoh transformasi pengelolaan limbah modern di Indonesia.
Dampak bagi Lingkungan dan Warga
Target hilangnya sampah di Bantargebang tentu membawa harapan besar, terutama bagi warga yang selama ini hidup berdampingan dengan gunungan limbah. Berkurangnya volume sampah berarti kualitas udara yang lebih baik, risiko kesehatan yang menurun, serta lingkungan yang lebih layak huni.
Namun di sisi lain, proyek WTE juga memerlukan pengawasan ketat. Isu emisi, transparansi teknologi, hingga dampak sosial harus menjadi perhatian utama agar solusi ini benar-benar ramah lingkungan dan diterima masyarakat.
Optimisme dengan Catatan Realistis
Urbie’s, target dua tahun jelas bukan pekerjaan mudah. Dibutuhkan konsistensi kebijakan, kesiapan infrastruktur, serta sinergi antara pemerintah pusat, daerah, dan investor. Meski demikian, pernyataan Zulhas setidaknya menunjukkan adanya kehendak politik yang kuat untuk menyelesaikan masalah sampah secara serius.
Jika berhasil, langkah ini bisa menjadi tonggak penting dalam sejarah pengelolaan sampah Indonesia. Dari yang semula menjadi beban, sampah bertransformasi menjadi sumber energi dan solusi.
Kini publik tinggal menunggu: apakah ambisi besar ini akan benar-benar terwujud, atau kembali menjadi janji yang tertimbun—seperti sampah itu sendiri.






















































