Home Entertainment GACKT Angkat Suara soal AI di Dunia Musik: ‘Bahkan Vokal Pun Bisa...

GACKT Angkat Suara soal AI di Dunia Musik: ‘Bahkan Vokal Pun Bisa Digantikan Mesin’”

46
0
GACKT AI di industri musik - sumber foto Instagram moon__ray
GACKT AI di industri musik - sumber foto Instagram moon__ray
Mercure

Hi Urbie’s! Ada satu suara dari Jepang yang kembali bikin dunia musik merenung. Bukan suara melodi atau riff gitar, tapi suara kekhawatiran dari musisi legendaris, GACKT, yang baru-baru ini mencurahkan pikirannya soal masa depan musik di era kecerdasan buatan (AI).

Melalui akun X (sebelumnya Twitter) miliknya pada 14 Oktober 2025, GACKT mengungkapkan keresahan yang mungkin juga dirasakan banyak musisi di seluruh dunia: “Akankah manusia masih punya tempat di industri musik ketika semuanya bisa dilakukan oleh mesin?”

“Ruangan Kedap Suara dan Dunia yang Tak Lagi Sama”

Dalam unggahannya, GACKT awalnya menyinggung sebuah survei yang menempatkannya di posisi pertama sebagai selebritas dengan ruangan kedap suara terbaik. Namun, dari situ justru lahir refleksi yang dalam.

“Meskipun saya membangun ruangan kedap suara seperti itu, saya harus mengatakan ini: apakah ruangan kedap suara benar-benar diperlukan di zaman sekarang?” tulisnya.

Kalimat itu terasa sederhana, tapi sarat makna. GACKT seakan sedang berbicara lebih dari sekadar ruangan. Ia berbicara tentang perubahan zaman — ketika proses kreatif yang dulu penuh eksplorasi dan dedikasi kini mulai tergantikan oleh efisiensi digital.

Dulu, musisi berlomba-lomba menciptakan rekaman terbaik secara analog, dengan alat musik fisik dan campuran suara alami. Tapi kini, semuanya bisa dilakukan lewat komputer dan algoritma.

Dunia Musik yang Semakin Sepi dari Manusia

Dalam cuitan lanjutannya, GACKT menyoroti penurunan signifikan pekerjaan untuk musisi dan teknisi studio. Ia menyebut bahwa dalam dua dekade terakhir, banyak profesi di dunia musik yang “menghilang tanpa jejak.”

Mulai dari arranger, sound engineer, hingga musisi pengiring, banyak peran yang kini bisa digantikan oleh AI dengan hasil nyaris sempurna. Bahkan, GACKT mengaku ngeri membayangkan saat di mana vokal pun sepenuhnya digarap oleh mesin.

“Sejujurnya, sungguh mengerikan membayangkan bahkan vokal pun akhirnya akan ditangani oleh AI,” tulisnya dengan nada prihatin.

Dan memang, kekhawatiran itu bukan tanpa alasan, Urbie’s.
Dalam dua tahun terakhir, dunia musik global sudah menyaksikan kemunculan AI singers yang bisa meniru suara penyanyi terkenal — dari The Weeknd, Ariana Grande, sampai penyanyi Jepang sendiri. Lagu-lagu hasil AI pun viral, kadang tanpa izin dari artis aslinya.

Seni yang Kehilangan “Ruh”

GACKT bukan satu-satunya musisi yang mengkhawatirkan fenomena ini. Tapi yang membuat pesannya menyentuh adalah cara ia menggambarkan hilangnya esensi manusia dalam seni.

Menurutnya, semakin mudah teknologi membuat sesuatu, semakin manusia dianggap kuno.

“Semakin mudah segala sesuatunya, semakin kita dianggap kuno bahkan ketika kita berbicara tentang analog. Menyedihkan,” tulisnya.

Kalimat ini menggambarkan realitas pahit: di era serba cepat, kerumitan dan proses manual yang dulu dianggap seni kini justru dilihat sebagai keterlambatan.

Padahal, bagi GACKT, justru di sanalah keindahan musik sejati berada — dalam ketidaksempurnaan, dalam emosi yang tidak bisa diprogram oleh kode algoritma.

Baca Juga:

Antara Ketakutan dan Harapan

Walau terdengar pesimis, sebenarnya di antara kalimat GACKT terselip nada reflektif. Ia tidak menolak kemajuan teknologi, tapi menyoroti pentingnya menjaga ruang bagi kreativitas manusia di tengah derasnya arus digitalisasi.

Mungkin ini adalah panggilan bagi generasi baru musisi — termasuk kamu, Urbie’s, yang suka bikin musik lewat laptop atau AI tools — untuk tidak melupakan sisi manusiawi dalam karya. Karena pada akhirnya, yang membedakan musik dari sekadar bunyi adalah jiwa di baliknya.

GACKT, AI, dan Masa Depan Musik

GACKT, yang sudah berkarier lebih dari dua dekade di industri musik Jepang, dikenal sebagai sosok perfeksionis dan visioner. Ia selalu bereksperimen, dari visual kei hingga proyek digital, tapi kali ini pernyataannya terasa seperti peringatan keras dari seseorang yang sudah melihat perubahan terlalu jauh.

Apakah dunia musik benar-benar akan kehilangan manusia di dalamnya?
Ataukah justru AI akan menjadi alat baru yang memperluas batas kreativitas kita?

Pertanyaan itu belum punya jawaban pasti. Tapi satu hal jelas, Urbie’s — pernyataan GACKT membuat kita kembali bertanya: apa arti seni kalau semuanya bisa disintesis?

Dan mungkin, seperti langit senja yang tak bisa sepenuhnya ditiru layar digital, musik sejati selalu butuh hati di baliknya.

Novotel Gajah Mada

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here