
Hi Urbie’s! Pernah berdiri lama di depan rak minuman, bingung memilih antara kopi latte, cold brew, atau teh matcha oatmilk? Jika iya, kamu tidak sendirian. Di era yang serba cepat dan serba ada ini, fenomena paradox of choice makin terasa nyata, terutama bagi Gen Z dan milenial muda yang hidup dalam derasnya arus informasi dan kebebasan memilih.
Paradox of Choice: Ketika Kebebasan Justru Menjebak
Istilah paradox of choice dipopulerkan oleh psikolog Barry Schwartz. Ia mengungkap bahwa semakin banyak pilihan yang kita miliki, justru semakin besar kemungkinan kita merasa tidak puas, cemas, bahkan menyesal. Meski terdengar aneh, fenomena ini sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari: dari memilih jurusan kuliah, pekerjaan, tempat makan, hingga pasangan hidup.
Kebebasan memilih seharusnya memberi kontrol dan kepuasan. Namun, menurut Schwartz, terlalu banyak opsi justru menciptakan beban. Kita jadi overthinking, takut membuat keputusan yang salah, dan akhirnya tidak bisa menikmati pilihan yang sudah diambil.
Kenyataan Hidup Anak Muda: Dihantui Pilihan Tiada Henti
Bagi generasi muda, hidup di era digital berarti berhadapan dengan ribuan pilihan setiap harinya. Media sosial memperparah situasi, melihat orang lain “sukses” dengan pilihannya bisa memicu krisis identitas, perasaan tertinggal, dan bahkan FOMO (Fear of Missing Out).
Contohnya, kamu ingin belajar skill baru. Tapi saat membuka YouTube, kamu malah disuguhi ratusan tutorial seperti belajar UI/UX, desain grafis, coding, menulis, marketing digital, dan lainnya. Akhirnya kamu bingung harus mulai dari mana, dan… berujung tidak mulai sama sekali.
Baca Juga:
- “Spider-Man: Brand New Day” Mulai Syuting Agustus, Siap Bawa Dua Villain Baru ke Layar Lebar!
- Tzuyang Jalani Medical Check-up: Makan Banyak Tapi Tetap Sehat, Kok Bisa?
- Penelitian Terkini Ungkap Hubungan Mengejutkan antara Mikroplastik dan Demensia
Antara Ekspektasi dan Realita: Mengapa Kita Sulit Puas?
Paradox of choice juga berakar dari ekspektasi. Saat banyak pilihan tersedia, ekspektasi kita terhadap hasil juga meningkat. Kita berharap mendapatkan yang terbaik. Tapi ketika realita tidak sesuai harapan, rasa kecewa dan menyalahkan diri sendiri muncul.
“Harusnya aku pilih yang itu”
“Kenapa tadi nggak ambil jurusan yang satu lagi?”
Kalimat-kalimat ini kerap muncul dan menjadi beban mental.
Lalu, Bagaimana Mengatasinya?
Tenang, bukan berarti kita harus hidup tanpa pilihan. Solusinya bukan mengurangi kebebasan, tapi mengelola pilihan. Berikut beberapa tips praktis:
Batasi pilihan
Saat menghadapi banyak opsi, saring menjadi 2-3 yang paling relevan.
Fokus pada kebutuhan, bukan tren
Pilih yang sesuai dengan kebutuhan pribadi, bukan karena “semua orang melakukannya”.
Terapkan prinsip “good enough”
Tidak semua harus sempurna. Kadang, pilihan yang cukup baik sudah lebih dari cukup.
Jangan takut gagal
Setiap pilihan adalah proses belajar. Bahkan jika ternyata kurang cocok, kamu tetap belajar sesuatu.
Menemukan Kepuasan di Tengah Kebebasan
Paradox of choice adalah tantangan zaman modern yang tak terelakkan, terutama bagi kamu yang sedang mencari arah hidup. Tapi dengan kesadaran dan strategi yang tepat, kamu bisa tetap bahagia tanpa harus terjebak dalam labirin pilihan.
Jadi, daripada terus bingung mau pilih yang mana, mungkin saatnya bertanya, “Apa yang benar-benar aku butuhkan hari ini?”